Review Reuni Z (2018)

Sutradara : Monty Tiwa, Soleh Solihun

Penulis Skenario : Soleh Solihun

Pemain : Tora Sudiro, Soleh Solihun, Ayushita Nugraha, Dinda Kanya Dewi, Surya Saputra, Cassandra Lee, Fanny Fabriana, Anjasmara, Dian Nitami, Kenny Austin, Verdi Solaiman, Bianca Liza





Sebagai seseorang yang menyukai film zombie, saya sendiri sangat merasa senang dengan hadirnya "Reuni Z", walaupun bukan film zombie lokal pertama namun tema zombie merupakan tema mainstream yang langka di negara seperti kita ini, entah belum berani bikin atau apa, namun film horror lokal kebanyakan main di zona nyaman, walaupun sudah ada film gore Rumah Dara, mindfucking Pintu Terlarang hingga found footage Keramat (karya Monty Tiwa, yang juga menyutradari "Reuni Z" bersama Soleh Solihun) namun untuk zombie-zombie-an belum ada yang bisa menembus level bangsat. Mohon koreksi jika saya salah, dulu di tahun 2012 sempat beredar kabar bahwa Billy Christian (Tuyul : Part 1, Rumah Malaikat) akan membuat film panjang zombie pertama di Indonesia dengan judul Mati Setengah Hidup, namun dengan berbagai alasan projek tersebut sementara "Mati" dan pada akhirnya di tahun 2015 Billy membuat Kampung Zombie, tetap menjadi yang pertama dibidang zombie-zombie-an lokal namun sayangnya saya tidak sempat menontonnya. Sebetulnya untuk urusan zombie dulu Raditya Sidharta (The Shaman) juga sudah pernah menyebar virus lewat film pendek The Rescue yang merupakan bagian dari film omnibus Takut : Face of Fears dan sayangnya lagi saya tidak terlalu ingat adegan-adegan yang muncul di film itu (karena tenggelam oleh segmen Dara) dan karena The Rescue merupakan film pendek, tidak bisa juga saya sandingkan secara keseluruhan dengan "Reuni Z". Ada juga film 5 Cowok Jagoan : Rise of the Zombies karya Anggy Umbara, yang disebut sebagai comedy-action tapi kok bawa-bawa zombie di judulnya, apakah ini film horror? melihat dari trailernya memang ada mayat hidup yang lagi ditembakin, namun tetap 5 Cowok Jagoan bukanlah sebuah film horror.
Saya memang sudah mengatur jadwal agar tidak ketinggalan nonton "Reuni Z", sudah saya katakan bahwa saya sangat senang dengan kehadiran "Reuni Z" di bioskop, walaupun memang saya sudah pasrah jika nanti filmnya tidak sesuai harapan, namun setidaknya ternyata ada lagi sineas yang mau bikin film tentang mayat hidup, meskipun diaduk dengan komedi saya tetap senang, toh ada banyak film zombie diluaran sana yang masih bisa memberikan sebuah sajian berdarah dengan usus terburai keluar-terkuat-kuak-kemudian-disantap-dengan-lahap dalam balutan komedi yang bikin ngakak.

Dilihat dari trailernya, "Reuni Z" tampak menggiurkan terutama dari sisi komedinya, namun untuk urusan zombienya masih terasa seperti anak SD ingusan. Tapi apakah cukup menilai sebuah film hanya dari trailernya saja? Tidak adil tentunya, untuk itulah saya datang ke bioskop yang kebetulan beberapa pemain termasuk salah satu sutradara dan penulis filmnya, Soleh Solihun ikut hadir dalam acara nonton bareng "Reuni Z".
Ketika pertama kali bertemu Soleh, yang saya tanyakan adalah "kemana mas Monty Tiwa?", beliau menjawab "Monty lagi shooting film terbaru" dan obrolan singkat itu pun berakhir, kami pun masuk ke dalam studio dan mulai menonton filmnya, dimana saya duduk disebelah pria yang sepertinya sangat menikmati semua yang dihadirkan oleh Monty dan Soleh, sejak filmnya dimulai hingga filmnya selesai dia terus tertawa terbahak-bahak, dan dia pula (sepengetahuan saya, karena dia duduk persis disamping saya) yang memberikan tepuk tangan pertama kali dan kemudian diikuti oleh beberapa penonton lain. Well, seperti yang tadi saya katakan, dia sangat menikmati apa yang dihadirkan oleh Monty dan Soleh, berbanding terbalik dengan saya yang tidak terlalu menikmati film yang diproduseri oleh Gope T. Samtani (Pengabdi Setan, Hangout) ini.

Setelah filmnya selesai, saya kembali memberanikan diri untuk bertanya lagi kepada Soleh, "film zombie yang jadi inspirasi buat film" Reuni Z" apa sih mas?" beliau menjawab dengan singkat "Shaun of the Dead", dengan level keberanian yang sudah berkurang saya pun mengurungkan niat untuk kembali melemparkan pertanyaan kepada Soleh.
Satu hal lagi yang ingin saya tahu dari Soleh adalah "apakah mas pernah nonton Braindead-nya Peter Jackson?" saya harap jawabannya adalah tidak pernah.
Membuat sebuah film mainstream yang jarang dibuat di Indonesia seperti zombie ini (juga superhero tentunya) dipengaruhi oleh dua faktor yang saling ketergantungan dan menjadi pondasi kuat,  yaitu budget dan keberanian. Budget adalah segalanya, sebuah syarat wajib untuk membuat film. Sebuah film tidak akan berjalan jika tidak memiliki budget, namun tidak semua film mempunyai budget besar, inilah yang juga dialami Peter Jackson ketika membuat Braindead, namun lewat keberaniannya lah skenario Braindead yang absurd itu bisa disulap menjadi sebuah suguhan yang sangat menyenangkan. Berbeda dengan "Reuni Z"  yang masih terlihat seperti meraba-raba, tidak pede dengan zombienya dan terlalu sibuk ngelawak. "Reuni Z" tidak cukup punya keberanian.

Membuat film zombie tentunya tidaklah mudah, sebuah wabah yang menyebar dengan cepat menginfeksi orang-orang menjadi mayat hidup berjalan yang berbahaya, membuat suasana kota menjadi mati dan juga berantakan, PR yang sulit untuk sang sutradara? Tentu. Lihat bagaimana Danny Boyle mengubah kota London menjadi kota mati, atau ketika ribuan zombie berlarian mengejar mangsanya di World War Z. Hal mudah yang dilakukan untuk mengatasi masalah seperti ini adalah dengan membatasi ruang gerak si zombie itu sendiri, seperti setting apartemen yang terisolasi dalam film REC atau dengan menggiring para zombie ke rumah pertanian di sebuah desa terpencil seperti dalam Night of the Living Dead. "Reuni Z" pun melakukan hal yang sama, memfokuskan sebuah zombie outbreak di dalam gedung sekolah, sebuah ide cerita menarik yang sayangnya tidak dieksekusi dengan baik. Kisah zombienya seperti ditelantarkan, tidak fokus dan terkesan seperti tempelan saja, yang penting ada mayat hidup sudah beres. Ini yang membuat saya down seketika. Saya awalnya tidak terganggu dengan komedi yang dihadirkan, saya cukup menikmati lawakan yang dilontarkan pemainnya, terutama karakter Dinda Kanya Dewi yang memang menjadi senjata andalan, namun apakah dengan mengandalkan lawakan saja bisa membuat "Reuni Z" menjadi sebuah film yang menyenangkan? Lawakan-lawakan yang terus dilontarkan pada akhirnya membuat saya mengelus-ngelus dada, angkat tangan dan berharap filmnya cepat-cepat selesai. Saya yang awalnya berharap bisa melihat tontonan zombie yang lagi makan teman harus puas melihat film zombie yang cuman gigit temannya doang, itupun engga kelihatan, sebuah acara reuni yang membosankan.

Saya berterima kasih kepada Monty Tiwa dan Soleh Solihun yang telah mengangkat zombie lokal ke dalam layar bioskop lagi, namun dengan segudang kekurangannya "Reuni Z" masih belum layak disebut sebagai sebuah film zombie sejati. Saya jadi membayangkan jika film ini tidak mempunyai ensemble cast mungkin dananya bisa dipergunakan untuk mempercantik lagi tampilan zombienya? Atau jika kadar komedinya dipangkas mungkin Monty dan Soleh bisa lebih fokus pada zombie apocalypse-nya? Siapa tahu, bukan?

Rating : 2/5

Comments

Popular posts from this blog

Review Mata Batin 2 (2019) : Film Horror Berisik Yang Mengusik

Review Jaga Pocong (2018) : Semua Berjalan Baik-Baik Saja Hingga Bagian Ending Merusak Segalanya

Review Kafir : Bersekutu Dengan Setan (2018) : Horror Mencekam Dengan Visualisasi Yang Memukau

7 Film Horror Indonesia Terburuk Tahun 2018

Review The Knight and the Princess (Al Faris wal Amira) (2019) — San Diego AFF 2020