Review The Predator (2018) : Alien Badass Kembali Turun Ke Muka Bumi


Sutradara : Shane Black

Penulis Skenario : Shane Black, Frank Dekker

Pemain : Boyd Holbrook, Trevante Rhodes, Jacob Tremblay, Olivia Munn, Sterling K. Brown, Keegan-Michael Key, Thomas Jane, Alfie Allen, Augusto Aguilera, Yvonne Strahovski

Genre : Horror, Sci-Fi, Action





Meski bukan sebuah franchise horror yang berada dijajaran paling atas, baik secara pendapatan, kepopuleran atau dari segi kualitas, lanjutan dari seri "Predator" yang pertama kali menginvasi bumi 31 tahun silam ini memang patut ditunggu-tunggu kehadirannya. Selain menjanjikan konsep yang lebih besar ditiap sekuelnya, kemunculan Predator yang cukup langka ini akan menjadi obat untuk mereka yang menyukai film action horror terutama bagi para pengagum sosok mahluk luar angkasa bertubuh layaknya manusia ini. Tercatat, selama lebih dari 3 dekade kemunculan film "Predator" (tanpa menghitungnya dengan dua film "Alien Vs Predator") hanya ada 3 sekuel yang diproduksi, lebih sedikit jika dibandingkan dengan rivalnya "Alien" yang sudah memiliki 6 judul baik sekuel maupun prekuel. "Predator 2" dirilis 3 tahun setelah film pertamanya sukses dipasaran, kemudian sekuel keduanya "Predators" dirilis 20 tahun setelah Predator menginvasi kota Los Angeles, kini Shane Black (Iron Man 3, The Nice Guys) mencoba mengembangkan mitologi Predator untuk kedepannya.




"The Predator", ditulis oleh Black (yang pernah bermain dalam film pertama "Predator") dan Fred Dekker akan bercerita tentang kedatangan Predator ke bumi yang dianggap sudah mulai meningkat, bagi orang yang belum pernah mengenal sosok Predator sebelumnya, "The Predator" ini sebenarnya sangat mudah dicerna, hanya ada beberapa referensi kecil untuk film-film sebelumnya yang akan menjadi benang merah mengapa film ini pada akhirnya tumbuh menjadi sebuah sekuel, yang pada awalnya direncanakan sebagai sebuah produk daur ulang. Gue sendiri baru menonton film pertama "Predator" saja, nafsu Gue hilang ketika tahu bahwa sekuel pertama "Predator" ini punya latar belakang yang berbeda dengan yang pertama, dari setting-nya saja Gue sudah enggak suka, Predator yang terlihat badass di hutan belantara kini harus menjadi pemburu di antara megahnya gedung pencakar langit Los Angeles, terdengar sedikit bodoh tapi ini memang alasan mengapa dulu Gue menolak untuk menonton "Predator 2" (sekarang sih malah nyesel dulu gak nonton).


Rasanya terlalu berat jika harus tahu apa koneksi dari berbagai film yang ada dalam universe "Predator" ini, apalagi tiga film sebelumnya masing-masing mempunyai protagonis, setting dan cerita yang berbeda. Untungnya Black yang lebih memilih untuk membuat "The Predator" sebagai sekuel ketimbang reboot ini tidak terlalu banyak menaruh materi yang membingungkan penonton baru sehingga Mereka bisa dengan santai menonton film arahanya ini, yay welcome to the party!
Ceritanya sendiri akan bertumpu pada kedatangan Predator yang kemudian diteliti oleh para ilmuan termasuk Casey Bracket yang diperankan oleh si cantik Hannah Al Rashid, eh maksud Gue Olivia Munn. Tanpa diperkirakan, Predator yang tengah diteliti ini melarikan diri dari pusat penelitian untuk mencari armor-nya yang telah dicuri oleh Quinn McKenna (Boyd Holbrook), seorang mantan tentara yang pertama kali melihat sang Predator di hutan. Dibantu oleh mantan tentara lainnya yang tergabung dalam perhimpunan jomblo-jomblo gila bahagia, McKenna, Bracket dan tim-nya itu harus menghentikan Predator yang bisa membahayakan ras umat manusia.




Layaknya formula sekuel film blockbuster lainnya, "The Predator" sedari awal mencoba untuk membuat sebuah film yang lebih besar dari pendahulunya. Sejak filmnya dimulai Kita sudah bisa melihat banyaknya ledakan yang kemudian disusul dengan adegan darah bermuncratan, jujur Gue enggak terlalu ingat dengan film "Predator" yang pertama, Gue bahkan lupa plot dan setiap adegan yang ditampilkan namun satu hal yang harus Elo tahu, Gue menolak lupa akan kengerian yang Gue rasakan ketika menonton "Predator" dulu, alien bejat itu sudah membuat masa kecil Gue trauma dihantam berbagai persenjataan yang ada pada tubuh kekarnya itu, walaupun pembantaian para tentara tim Dutch terjadi di siang bolong, "Predator" masih mampu tampil seram dan menegangkan, berbeda dengan Predator baru garapan Black ini (yang sejak awal sudah mengisyaratkan bahwa filmnya akan tampil lebih berisik dan lebih gory dibandingkan pendahulunya) yang sayangnya jauh dari kata seram.


Ambisi Black yang ingin membuat film lanjutan "Predator" menjadi lebih besar itu sayangnya tidak didukung dengan plot yang maksimal, Gue tidak akan keheranan jika nantinya Black malah memaksakan kisahnya pada seorang anak kecil yang menjadi incaran Predator sebagai syarat peng-upgrade-an sekaligus menjelaskan mengapa frekuensi Predator datang ke bumi makin meningkat. Seorang anak kecil autis yang tak disangka ternyata mempunyai kemampuan untuk mengoprasikan alat-alat alien, what the fuck Man?!
Black mencambuk "The Predator" sekencang-kencangnya, berpacu sangat cepat layaknya mobil yang sedang balapan di Piston Cup, sehingga tidak menghasilkan kesan yang menyentuh pada tiap babaknya, mau itu aksi baku tembak, aksi kejar-kerjaran atau aksi bunuh-bunuhan semuanya terasa begitu hambar. Terlalu cepatnya pacing yang Black lakukan ini berdampak juga pada interaksi yang kurang berati pada tiap karakternya, kecuali untuk para anggota jomblo-jomblo gila bahagia (Saking jomblonya sampe belok, cyin) yang tampil cukup memuaskan walaupun dieksekusi dengan begitu cepat pula, pada beberapa titik, humor yang dilontarkan oleh Trevante Rhodes dan gengnya memang berjalan dengan begitu mulus membuat penonton tertawa, tapi terkadang sinyal Gue enggak bisa nangkep apa yang sedang mereka bicarakan saking cepatnya, yang satu ngomong, yang satu ikut ngomong, yang lainnya pun ikut ngomong dalam waktu bersamaan.
"The Predator" menandakan sebuah gaya baru dalam seri "Predator" yang terkesan kelam dan gelap (Bila Gue menilik pada film pertama dan dua film "AVP"), Black dengan pandai memanfaatkan jararan pemainnya untuk membangun chemistry yang pas dengan tone yang diinginkannya, apabila kemudian Black kembali duduk di kursi penyutradaraan mungkin saja nantinya film-film terbaru "Predator" akan menjadi sebuah action-science fiction-horror-comedy yang menyenangkan bagi para penikmat film popcorn untuk berakhir pekan.




Jika ditanya apakah Gue suka dengan cara Black dalam mempresentasikan filmnya, jawaban Gue adalah tidak, tapi apakah Gue tetap menunggu film "Predator" selanjutnya? jawabannya iya. Jadi jangan main-main lagi dengan si Predator wahai Shane Black, atau Gue bakal minta Xenomorph buat matahin tulang belakang Elo karena bagaimana pun "The Predator" tetaplah sebuah film horror, wajib untuk tampil seram.


Dar der dor crat cret crot, "The Predator" sajikan tontonan penuh ledakan, darah bermuncratan dan usus berhamburan yang dibalut dengan berbagai banyolan yang sayangnya mengurangi rasa ketegangan filmnya, seri ke empat "Predator" ini punya konsep yang lebih besar, lebih menghibur, penuh aksi namun minim rasa ngeri. Tolong dong bang, intensitas ketegangannya di-upgrade lagi!



Rate : 3/5

Comments

Popular posts from this blog

Review The Tag-Along : Devil Fish (Hong Yi Xiao Nu Hai Wai Zhuan : Ren Mian Yu) (2018) : Legenda Ikan Iblis Di Taiwan

Review The Grudge (2020) : Kutukan Dendam Membara Yang Seharusnya Berakhir

7 Film Horror Indonesia Terburuk Tahun 2018

Review Arwah Tumbal Nyai "Part Arwah" (2018) : Raffi Ahmad dan Rumah Produksinya, Generasi Baru KK Dheeraj

Review He's Out There (2018) : Slasher Pasaran Penuh Adegan Mendebarkan