Review Heretiks (The Convent) (2018) : Misteri Gereja Angker Yang Membingungkan Penontonnya

Sutradara : Paul Hyett

Penulis Skenario : Paul Hyett, Conal Palmer

Pemain : Hannah Arterton, Clare Higgins, Emily Tucker, Rosie Day, Freddy Carter, Sarah Malin, Michael Ironside

Genre : Horror





Sekilas film terbaru arahan Paul Hyett—yang sebelumnya menyutradarai film werewolf kelas B "Howl"— ini akan mengingatkan banyak orang pada salah satu spin-off semesta "The Conjuring" yang dirilis September tahun lalu "The Nun". Padahal film yang dirilis di Amerika Serikat pada tanggal 3 Mei kemarin dan baru menyambangi bioskop Indonesia 5 hari setelahnya itu telah terlebih dahulu premiere di FrightFest London 2018 sebelum "The Nun" dirilis di bioskop. Yeah, sosok Valak yang muncul pertama kali dalam sekuel "The Conjuring" di tahun 2016 itu memang mencuri banyak perhatian karena penampakan wujudnya yang memorable sebagai hantu biarawati. Tak ayal, meski subgenre nunsploitation (sebutan untuk film eksploitasi bertema suster biarawati) sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu, nama Valak bisa dibilang sebagai "bintang" paling ikonik dalam genrenya, bahkan untuk genre utama horror itu sendiri.




"Heretiks" (atau yang lebih dikenal dengan judul "The Convent") memang akan mengingatkan banyak orang pada "The Nun", namun film arahan Paul Hyett ini punya basic yang berbeda dengan film arahan Corin Hardy tersebut. Bersetting di Inggris abad ke-17, Kita dikenalkan dengan Persephone (Hannah Arterton) yang dituduh telah melakukan praktik ilmu sihir, dimana pada masa itu tindakan tersebut merupakan suatu kejahatan berat sehingga Persephone harus diberi sanksi hukuman mati. Namun beruntung, seorang Kepala Biarawati (Clare Higgins) datang menyelamatkannya. Atas kebaikan yang telah diberikan Kepala Biarawati dan demi menebus dosa-dosanya, Persephone harus mengabdi sebagai suster di dalam sebuah gereja bersama wanita-wanita lain yang telah diselamatkan jiwanya oleh Kepala Biarawati, namun kehidupan yang seharusnya menenangkan itu berubah menjadi sesuatu yang mengerikan ketika Persephone menyadari ada sesuatu yang tak beres dengan gereja tersebut.

Dengan tema yang serupa dengan "The Nun", "Heretiks" memang Gue akui memiliki kekuatan yang hampir sama dengan "The Nun" dalam pembangunan atmosfir, pemilihan lokasi yang cukup menyeramkan menjadikan "Heretiks" sebagai sebuah sajian yang cukup menggugah selera meski pada awalnya "Heretiks" memang "pelit" untuk membeberkan bagian horrornya, setidaknya penonton harus sedikit bersabar karena Paul Hyett akan memberi beberapa misteri yang akan mengubah rasa simpati penonton terhadap Bunda Biarawati yang telah menyelamatkan Persephone. Misteri-misteri kecil ini termasuk sosok seorang pria yang berada diluar gereja yang ingin berkomunikasi dengan salah satu biarawati dan seorang wanita tua bertudung hitam yang menyebutkan bahwa gereja itu terkutuk, inilah yang kemudian membuat Persephone curiga ada sesuatu yang tak beres di dalam gereja, kecurigaannya ini diperkuat dengan kejadian aneh yang menimpa para biarawati hingga sakit keras dan sulit untuk disembuhkan.




Gue akui meski paruh awal "Heretiks" bisa dibilang menarik, namun lambat laun Gue mulai hilang ketertarikan pada film ini. Paul Hyett yang sebelumnya sudah menangani film berbudget rendah nampaknya cukup kesulitan mengeksekusi film yang juga Ia tulis sendiri bersama Conal Palmer ini. Ketika misteri yang ada cukup memumpuni untuk membangun rasa penasaran, "Heretiks" malah banyak kehilangan momen yang seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai senjata untuk menakuti penonton, dibanding memanfaatkan misteri yang sudah ada, Paul Hyett nampaknya ingin sesuatu yang lebih konvensional untuk menakut-nakuti penonton dengan menambahkan sesosok hantu sebagai jualan utama filmnya. Bukan hanya tak menambah esensi pada fokus cerita, sosok hantu yang muncul ini bisa dibilang cukup membingungkan, entah ketika masuk ke pertengahan film Gue masih dalam keadaan sadar atau tengah kerasukan setan, Gue benar-benar tidak bisa menikmati lebih jauh ke dalam kisah yang Paul Hyett beberkan, walaupun nantinya akan ada jawaban atas kemunculan hantunya, namun pembangunan misteri yang sudah dilakukan sejak awal terasa terbuang sia-sia.




Belum lagi kemunculan banyak kararkter yang numpang lewat dan tak penting keberadaanya, beberapa sebetulnya bisa menarik simpati penonton namun lagi-lagi Paul Hyett tetap tak bisa meng-handle skenario yang Ia tulis. Contoh kecilnya adalah Ellis (Freddy Carter), karakter kunci yang kemudian dibabat begitu saja ketika Ia muncul kembali dalam babak akhir, Gue menyebut ini sebagai sebuah contoh kemalasan untuk menyudahi "Heretiks". Meski pada akhirnya Paul Hyett mengakhiri "Heretiks" dengan cara yang lebih "fun" sebagai film kelas B, namun Gue tetap tidak bisa menikmati film ini sedikitpun, bahkan atmosfir yang sudah Gue dapatkan sedikit demi sedikit memudar, bukan hanya karena efek CGI yang ala kadarnya, namun sebagai pemeran utama Hannah Arterton juga belum bisa memikat penonton untuk merasakan "kegaduhan" yang terjadi di dalam gereja angker tersebut, terutama pada bagian klimaksnya.

Sangat disayangkan, "Heretiks" yang sudah didukung oleh beberapa pemain horror legend seperti Clare Higgins (Hellraiser, Hellbound : Hellraiser II) dan Michael Ironside (Scanners, Starship Troopers) ini harus berakhir dengan label horror yang membosankan, bagi Gue klimaks berdarah dengan kepala yang dipenggal, bola mata yang hancur dipencet dan dicongkel belum cukup untuk menebus dosa yang telah Paul Hyett buat lewat film ini.


Rate : 1,5/5

Comments

Popular posts from this blog

Review The Tag-Along : Devil Fish (Hong Yi Xiao Nu Hai Wai Zhuan : Ren Mian Yu) (2018) : Legenda Ikan Iblis Di Taiwan

Review The Grudge (2020) : Kutukan Dendam Membara Yang Seharusnya Berakhir

7 Film Horror Indonesia Terburuk Tahun 2018

Review Arwah Tumbal Nyai "Part Arwah" (2018) : Raffi Ahmad dan Rumah Produksinya, Generasi Baru KK Dheeraj

Review He's Out There (2018) : Slasher Pasaran Penuh Adegan Mendebarkan