Review Polaroid (2019) : Adaptasi Gagal Dari Film Horror Pendek Seram

Sutradara : Lars Klevberg

Penulis Skenario : Blair Butler

Pemain : Kathryn Prescott, Grace Zabriskie, Tyler Young, Samantha Logan, Keenan Tracey, Priscilla Quintana, Javier Botet, Mitch Pileggi, Davi Santos, Katie Stevens, Madelaine Petsch, Erika Prevost, Shauna MacDonald





"Kalau mau terjun ke dunia film, ya harus belajar dan praktek bikin film" kira-kira itulah inti dari salah satu ciutan yang (kalau tidak salah) Saya lihat dari timeline salah satu sineas berbakat di Indonesia. Proses paling awal memang bisa jadi pembelajaran penulisan sebuah skenario film, namun memang tidak bisa dipungkiri membuat sebuah film pendek adalah salah satu cara "cepat" agar bisa dilirik oleh studio besar. Fede Álvarez (Evil Dead, Don't Breathe) adalah salah satu contoh sukses kasus ini dimana film pendek buatannya, "Ataque de Pánico!" yang Ia upload ke situs Youtube mendadak viral hingga Ia ditawari untuk menggarap film panjang oleh salah satu studio dengan budget 30 juta dolar. Dalam interviewnya bersama BBC, Álvarez mengatakan "Saya mengunggah Ataque de Pánico! pada hari kamis dan pada hari seninnya kotak masuk Saya penuh dengan email dari studio Hollywood."
David F. Sanberg adalah contoh lainnya, sebagai orang yang kadang-kadang suka ngubek situs Youtube untuk mencari film-film pendek horror bangsat, nama Sanberg lewat aliasnya "Ponysmasher" memang selalu jadi andalan Saya. "Lights Out", "Attic Panic", "Pictured" dan "Closet Space" adalah beberapa film pendek Sanberg yang Saya suka. Film pendeknya yang paling terkenal, "Lights Out" —pemenang sutradara terbaik "Who's There Film Challenge 2013"— kemudian digarap menjadi film panjang pada tahun 2016.

Nasib sama juga datang pada sutradara asal Norwegia Lars Klevberg. Film pendek buatannya "Polaroid" —diproduseri oleh André Øvredal, sutradara Trolljegeren, The Autopsy of Jane Doe, Scary Stories to Tell in the Dark —juga digarap oleh studio Hollywood untuk menjadi sebuah feature lenght dengan judul yang sama, namun keberuntungan Klevberg memang tak sebagus Álvarez dan Sanberg. Pasalnya, projek "Polaroid" yang sudah selesai digarap dan siap diedarkan di tahun 2017 harus mengalami beberapa kendala dipihak distributor, dari pemindahan tanggal rilis hingga hampir tayang via platform streaming Netflix. Beruntung, setelah kurang lebih 2 tahun "ngebangke" akhirnya "Polaroid" dirilis dibeberapa negara termasuk di Indonesia, namun apakah penantian panjang ini berujung memuaskan?




Bird (Kathryn Prescott) mendapatkan kamera polaroid bekas dari salah satu temannya, Tyler (David Santos) yang Ia beli dari pasar loak. Bird memang memiliki ketertarikan pada dunia fotografi, Ia selalu membawa kamera kemanapun Ia pergi, namun Bird tak menyangka bahwa kamera polaroid yang baru saja Ia dapatkan menyimpan sebuah rahasia yang mengerikan. Siapapun yang yang fotonya telah tercetak oleh kamera tersebut tidak lama akan mati dengan cara yang mengenaskan, Bird dan teman-temannya pun harus berusaha memecahkan misteri dibalik kamera polaroid itu untuk menghentikan sosok makhluk astral/The Entity (Javier Botet) yang mengincar nyawa Mereka.

Diproduseri oleh orang dibalik banyak remake film horror Asia seperti "The Ring", "The Grudge", "Dark Water", "The Eye", "Shutter" dan "The Uninvited" (A Tale of Two Sisters) serta bagian naskahnya ditulis oleh Blair Butler (Hell Fest) memang tak banyak yang bisa diharapkan dari "Polaroid". Disebut sebagai "The Ring meets Final Destination", "Polaroid" memang akan terasa seperti copy-an mentah "Ringu"-nya Hideo Nakata, bedanya "Polaroid" diisi oleh sekumpulan remaja yang mencoba memecahkan misteri dibalik kamera terkutuk dengan berbagai jump scare ikut menemani 80 menit durasinya. Saya memang tak banyak neko-neko kalau untuk urusan horror, orisinalitas memang yang Saya inginkan namun toh Saya juga tak menutup mata pada film yang punya keklisean seperti film ini, yang penting filmnya seramkan?




Namun sejak detik-detik awal ketika layar menampilkan dua gadis remaja (Medelaine Petsch, Erika Prevost) yang sedang meng-unboxing barang berisi kamera polaroid milik orang tuanya yang sudah meninggal, Saya memang sudah tak enak pikiran, ternyata "Polaroid" bukan hanya punya tema yang mirip dengan "Ringu" saja, namun opening scenenya juga ternyata diracik persis dengan film arahan Hideo Nakata yang diangkat dari novel karya Kôji Suzuki itu. Sama seperti slasher remaja "Hell Fest" yang tak punya inovasi baru, naskah "Polaroid" juga tak begitu kuat dalam menceritakan karakter-karakternya, konflik yang terjadi antara Bird dengan teman-temannya juga sangat klasik seperti halnya ftv-ftv lokal. Karakter-karakter pendukung yang ada memang hanya dibuat untuk mati dengan urutan yang juga mudah ditebak, Saya masih bingung dimana letak ke-"Final Destination"-an film ini karena beberapa kill count dalam film ini ditampilkan secara off-screen, bilapun tampak, kematian para karakter disorot dengan angle yang kurang jelas dengan tempo yang sangat cepat, mungkin ini adalah cara untuk menyembunyikan sosok makhluk astralnya sebelum babak akhir, walaupun jujur Saya kurang suka dengan desain The Entity-nya Javier Botet, penggunaan CGI memang tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan practical effect. Versi pendek "Polaroid" justru tahu bagaimana cara membuat penonton parno lewat desain hantunya.




Mengubah film 16 menit menjadi 80 menit tentu bukan suatu perkara yang mudah, namun melihat hasil akhir "Polaroid" sungguh sangat menimbulkan kekecewaan. Klevberg ternyata tak mampu mengeksekusi apa yang telah Ia buat sebelumnya, masalah terbesar memang ada pada penulisan skenario yang lemah, jujur Saya masih suka dengan cara Klevberg menakut-nakuti penontonnya walaupun dalam versi panjang "Polaroid" ini Klevberg lebih banyak menggunakan jumpscare kejut sesaat dibanding menggunakan trik menakut-nakuti seperti yang sudah Ia lakukan dalam film pendeknya, hasilnya memang tak sebagus apa yang Saya bayangkan namun beberapa jumpscare masih bisa dinikmati tanpa harus mengerutkan dahi.

"Polaroid" versi 16 menit jelas tahu apa yang harus dilakukan dengan durasi sempitnya, trik menakutinya bangsat, naskahnya juga cukup kuat. Ketika Hollywood mentransfer "Polaroid" menjadi film dengan durasi 80 menit, materi yang ada pada film pendeknya pun tak bisa digarap dengan baik. Opening scene yang merupakan basic dari film pendeknya mengalami penurunan kualitas dari berbagai sisi, setelah itu formula "Polaroid" versi panjang ini berubah menjadi horror mainstream Hollywood yang mudah dilupakan. Jelas Saya lebih menikmati "Polaroid" versi 16 menit ketimbang yang ini, Klevberg hanya berada di bawah naungan orang yang tidak tepat, Saya masih percaya Dia bisa melakukan sesuatu yang lebih baik ketimbang adaptasi film pendek karyanya yang juga Ia tulis sendiri ini.
Mari Kita buktikan tapak jejak terbesar Klevberg lewat "Child's Play" remake yang akan tayang Juni ini...

(wait, Chucky? are you f****** kidding me?!!)


Rate : 2/5

Comments

Popular posts from this blog

Review The Tag-Along : Devil Fish (Hong Yi Xiao Nu Hai Wai Zhuan : Ren Mian Yu) (2018) : Legenda Ikan Iblis Di Taiwan

Review The Grudge (2020) : Kutukan Dendam Membara Yang Seharusnya Berakhir

7 Film Horror Indonesia Terburuk Tahun 2018

Review Eden Lake (2008)

Review Arwah Tumbal Nyai "Part Arwah" (2018) : Raffi Ahmad dan Rumah Produksinya, Generasi Baru KK Dheeraj