Review Tiny Souls (Arwah Saghirah) (2019) — JIFF 2020

Sutradara : Dina Naser


Genre : Dokumenter


Negara : Jordan













***

This film screened at Jakarta Independent Film Festival 2020

***


Apa yang terjadi tatkala anak-anak dilahirkan ketika perang sedang berlangsung? Mereka tumbuh, melihat kekejaman manusia yang saling menyakiti satu sama lain, membunuh demi sebuah tujuan, menghancurkan kehidupan orang-orang di sekitar yang sebenarnya tak tahu menahu soal apa-apa. Waktu yang bengis itu akan menjadi memori kelam yang tak akan bisa dilupakan hingga akhir hayat. Beberapa waktu yang lalu, Saya sempat melihat dokumenter tentang para korban genosida perang Bosnia yang menceritakan pengalaman mereka dan juga bagaimana perang itu menghancurkan jiwanya hingga 20 tahun ke depan.



Dalam "Tiny Souls", kita akan diperlihatkan perspektif perang lewat raga anak-anak kecil yang tak berdosa. Adalah Marwa yang masih berumur 11 tahun; Ayah 9 tahun; dan Mahmoud 5 tahun; bersama keluarganya Mereka pergi dari Suriah dan mengungsi di kamp Zaatari, Jordan akibat konflik yang terjadi di negaranya. Mereka tak berencana untuk mengungsi lama, namun terkadang niat tak berjalan dengan seharusnya. Dokumenter ini kemudian akan mengabadikan kehidupan Mereka selama 4 tahun di sana. 


Perang tentu saja merupakan salah satu hal yang mengerikan. Tak bisa dibayangkan bagaimana manusia yang sudah memiliki peradaban harus saling menghancurkan tanpa adanya rasa berdosa, dokumenter seperti "For Sama" dan "Last Men in Aleppo" memperlihatkan bagaimana kehancuran tersebut. Lewat "Tiny Souls", Dina Naser akan memperlihatkan bagaimana perang menghancurkan kehidupan sebuah keluarga dan bagaimana cara mereka agar tetap bertahan dengan pendekatan yang lebih personal tanpa adanya dokumentasi peperangan.



Tentu, kesaksian dan kehancuran hati para korban disini diperlihatkan : "Para tentara menghancurkan rumah Mereka hingga rata dengan tanah", namun fokus utama "Tiny Souls" merupakan semangat para anak-anak ini dalam menggapai kehidupan yang lebih baik di masa depan. Kita akan melihat keseharian Mereka menjalani kehidupan di kamp pengungsian ; Mereka bermain, belajar, membantu orang tua, bertengkar satu sama lain dan merekam kegiatan Mereka sendiri lewat kamera yang diberikan oleh sang sutradara. Unsur "Boyhood" yang juga diterapkan dalam film ini akan memperlihatkan bagaimana Marwa kecil yang cengengesan dengan rambut ikalnya tumbuh menjadi seorang remaja berhijab yang sedang jatuh cinta. Timeline yang dipresentasikan itu terasa begitu halus sampai Saya tak sadar telah melewati beberapa tahun di dalamnya.



Bukan hanya lewat kacamata Marwa dan adik-adiknya, "Tiny Souls" juga akan menggali arti peperangan lewat kacamata sang sutradara dimana Ayahnya juga merupakan pengungsi perang ketika dirinya berusia 11 tahun, sama dengan protagonis utama filmnya. Dina membuat narasi, meski terasa tak menyatu dengan konsep yang awalnya dibawa, namun pada akhirnya Saya menyadari bahwa usaha sang sutradara untuk bisa masuk ke kamp pengungsian itu tidak mudah dan ini memang pantas masuk ke dalam cerita. Pada akhirnya "Tiny Souls" tak hanya akan menangkap arti kehidupan anak-anak pasca perang si sebuah pengungsian serta harapan-harapan Mereka untuk bisa kembali ke negaranya namun juga tentang intimasi hubungan yang dibangun antara seorang sutradara dengan subjeknya yang begitu mengiris hati meski Kita tak bisa melihat kedekatan Mereka secara langsung di layar.




Comments

Popular posts from this blog

Review The Tag-Along : Devil Fish (Hong Yi Xiao Nu Hai Wai Zhuan : Ren Mian Yu) (2018) : Legenda Ikan Iblis Di Taiwan

Review The Grudge (2020) : Kutukan Dendam Membara Yang Seharusnya Berakhir

7 Film Horror Indonesia Terburuk Tahun 2018

Review Eden Lake (2008)

Review Arwah Tumbal Nyai "Part Arwah" (2018) : Raffi Ahmad dan Rumah Produksinya, Generasi Baru KK Dheeraj