Review Asih (2018) : Kisah 37 Tahun Sebelum Danur Yang Tak Berarti



Sutradara : Awi Suryadi

Penulis Skenario : Lele Laila

Pemain : Shareefa Daanish, Citra Kirana, Darius Sinathrya, Marini Soerjosoemarno, Alex Abbad

Genre : Horror





Tidak mengherankan bila pada akhirnya Asih mempunyai film stand alone-nya sendiri, setelah "Danur : I Can See Ghosts" tahun lalu sukses nangkring dijajaran 4 besar box office Indonesia, sekuel dari "Danur" yang hadir awal tahun ini lewat "Danur 2 : Maddah" (yang bisa Saya katakan lebih baik dari pada film pertamanya) kembali sukses meraup 2 juta lebih penonton dalam masa tayangnya, tak mengherankan pula bila pada akhirnya Manoj Punjabi kembali merilis film lanjutan (well, secara kronologi, bukan "lanjutan") dari semesta "Danur" yang diangkat dari novel karya penulis sekaligus musisi Risa Saraswati di tahun ini.

Yap! Asih kembali. Berstatus sebagai sebuah spin-off sekaligus prekuel untuk "Danur" jilid pertama, "Asih" akan menjadi sebuah pembuktian apakah Awi Suryadi mampu membuat setiap film dalam seri "Danur"-nya semakin membaik pada tiap tahapnya? atau setidaknya membuat installment lanjutan "Danur"-nya berada pada tingkatan yang sama dengan film sebelumnya, Saya sebenernya tidak mengharapkan opsi kedua, pertahanan itu memang penting, apalagi untuk sebuah franchise yang disutradarai oleh orang tunggal seperti semesta "Danur" ini, Awi Suryadi selaku sutradara harus mampu mempertahankan kemajuan yang telah "Danur 2 : Maddah" lakukan, namun lebih dari itu, peningkatan merupakan sebuah keharusan apabila nantinya Awi menginginkan status "film horror berkelas" dalam seri "Danur"-nya.

Film "Danur" pertama sendiri, walaupun masuk dalam jajaran film horror berbahasa asing terbaik tahun 2017 versi website horror ternama Bloody Disgusting, merupakan sebuah kegagalan besar dalam urusan menakut-nakuti, punya konsep menarik serta unsur-unsur penunjang yang memumpuni, Awi ternyata tidak mampu memanfaatkan potensi yang sudah "Danur" miliki. Memulainya dengan langkah yang menyakinkan, "Danur" kemudian malah melepeh usahanya diawal ketika Awi mulai rajin menakut-nakuti penonton menggunakan trik jump scare yang sebenarnya tidak Saya harapkan, frekuensi jump scare-nya memang tidak muncul setiap 10 detik sekali namun jelas Awi memang mengandalkan jump scare untuk menakut-nakuti penonton. Bagi para pemburu jump scare, "Danur" mungkin menjadi sensasi tersendiri, tapi bagi tipe penonton seperti Saya, "Danur" adalah film yang tidak menyeramkan dan telah menyia-nyiakan potensi Mba Asih yang diperankan oleh scream queen millennialnya Indonesia, Shareefa Daanish.




Berlatar 37 tahun sebelum "Danur", "Asih" tidak akan mengajak Kita pada pengenalan yang lebih dalam terhadap sosok hantu pengasuh yang mati bunuh diri ini, kisahnya tidak lebih dari penjabaran yang telah Kita dapatkan dalam paruh akhir "Danur" jilid pertama. Sebelum bunuh diri, Dia bunuh bayinya sendiri. Filmnya kemudian berlanjut pada kehidupan Puspita (Citra Kirana) yang sedang hamil tua dan tengah menunggu kelahiran buah hatinya bersama suaminya Andi (Darius Sinathrya) dan ibu mertuanya (Marini Soerjosoemarno). Hal-hal aneh mulai dialami oleh Puspita dan keluarganya, ibu mertuanya selalu merasakan bahwa ada sosok wanita lain yang sering mondar-mandir di dalam rumah, begitupun Puspita yang sudah cemas duluan ketika tahu bahwa ada wanita yang membunuh bayinya sendiri dan kemudian melakukan tindakan bunuh diri di kampung sebelah sehari sebelum bayinya lahir yang ternyata lahir diluar dari perkiraan bulan persalinannya. Jangan berharap mendapatkan kisah lebih mendalam tentang kehidupan Asih dalam film ini karena sosok Asih yang menjadi pusat perhatian utama dalam film ini tidak lebih dari apa yang kita dapatkan dalam film "Danur" yang pertama. Tidak ada penggalian lebih dalam terhadap karakter Asih, tidak ada penjelasan soal kehidupan Asih dan pekerjaannya sebagai pengasuh, padahal hantu Asih yang Risa sebut sebagai Kuntilanak ini mempunyai trademark menggunakan baju pengasuh yang cukup ikonik, tidak dijelaskan secara mendalam pula keluarga Mba Asih ini kecuali Mereka digambarkan tidak menerima atas kelahiran bayi Asih, dan pada kenyataannya, Kita tidak pernah tahu menahu soal hubungan terlarang Asih, dengan siapa dia bercinta? Apakah dia diperkosa? Well, jika ada alasan yang cukup jelas untuk menjawab pertanyaan Saya (Maaf, Saya keburu dibuat ngantuk oleh "Asih"), mengapa Lele Laila selaku penulis skenario tidak menjabarkan lebih dalam tentang kejadian yang menimpa Asih? Padahal, selain untuk menambah durasi filmnya (filmnya terlalu singkat, ciyusan) penggalian lebih dalam terhadap karakter Asih juga akan membuat penonton setidaknya peduli terhadap karakter hantu yang menginginkan bayi Puspita yang baru saja lahir.




Awi Suryadi memang menggerahkan segala usahanya demi memperbaiki kualitas seri "Danur"-nya, ini terlihat dari visualisasi yang sejak awal bukan hanya menyeramkan namun juga memukau karena memang filmnya bersetting pada masa lampau, kesan creepy juga mampu didapatkan lewat penggunaan lorong-lorong rumah yang gelap, ditambah sosok Shareefa Daanish yang lagi-lagi kembali berhasil mentransfer aura kengerian lewat karakter Mba Asih, cuman lewat tapi ngena. Sayang, bagaimanapun usaha Awi dalam memperbaiki kualitas seri "Danur"-nya, apabila tidak didukung dengan skenario yang memumpuni, bak alu pencukil duri, semua akan sia-sia saja. "Asih" tidaklah lebih dari sebuah film horror pasaran tentang sesosok hantu yang menerror sebuah keluarga kecil bahagia, apabila "Asih" memang tetap harus menggunakan formula ini untuk kedok spin-off dan prekuelnya, seharusnya ada perlakuan khusus untuk karakter Asih, bagaimana tidak, dalam film "Danur", Asih datang sebagai pengasuh sekaligus setan yang ingin mengambil jiwa anak-anak, dalam film stand alone-nya, Asih yang baru menjabat sehari sebagai setan ini juga datang pada sebuah keluarga dan ingin mengambil anak mereka, apa motifnya? juga tak dijelaskan. Cerita yang "Asih" hadirkan memang terdengar masuk akal untuk sebuah spin-off, tapi penceritaannya terkesan sama saja dan tak mengalami peningkatan. Bahkan untuk urusan menakut-nakuti, "Asih" juga tidak menunjukkan sebuah perubahan, kecuali frekuensi jump scare-nya lebih berkurang dari film yang pertama. Oke, berapa ratus film horror yang menggunakan kursi goyang sebagai sarana menakut-nakutinya? Hal ini sebetulnya sah-sah saja apabila mampu dieksekusi dengan baik, jika membandingkan adegan kursi goyang dengan yang ada dalam film "Danur" jilid pertama, adegan kursi goyang "Asih" memang jauh lebih baik, namun bukankah adegan kursi goyang ini sudah menjadi korban penayangan dalam materi trailernya? Apakah adegan ini kemudian berhasil menakut-nakuti penonton? Terlebih eksekusinya menggunakan jump scare yang dibantu oleh teriakan Shareefa "ANAK SAYAAA!" (tolong jangan menyebutkan satu lagi adegan kursi goyang dalam film ini, tbh I love it!).
Teknik menakut-nakuti lain yang juga "Asih" tampilkan adalah adegan shalat (Kita klasifikasikan saja adegan-adegan ini sebagai adegan mukena), sejauh ini 3 film dalam semesta "Danur" telah menggunakan trik menakut-nakuti dimana para pemainnya sedang melakukan aktifitas religi seperti shalat dan berdoa, jika memang Awi ingin mempertahankan ciri khas atau paling tidak ingin menaikan level kengerian pada adegan mukena ini, jelas adegan ketika Sophia Latjuba sedang dzikir-an dalam "Danur 2 : Maddah" jauh lebih mengerikan ketimbang adegan mukena yang terdapat dalam film "Asih", terlebih karena lagi-lagi pengeksekusiannya mengandalkan suara menggelegar dan teriakan super kencang dari Shareefa, trik jump scare seperti ini memang Saya akui mampu membuat badan ini terkaget-kaget seketika, namun rasanya atmosfir kengerian yang ditampilkan tidak mampu bertahan lama apalagi tipe penonton Indonesia adalah tipe yang suka ditakut-takuti menggunakan jump scare, terbukti lewat efek ketawa-ketiwi yang dihasilkan ketika "adegan yang bikin jantungan" ini telah diluncurkan. Lalu, apakah adegan makan ari-ari itu terdengar masuk akal ketika Puspita bilang "Aa sudah mengubur ari-ari Amelia? Kubur sekarang yah!", loh jadi ari-ari Amelia belum dikubur? Kok si ibu sudah segar bugar saja?!




"Asih" merupakan sebuah film yang tak berarti, tak menampilkan sesuatu yang baru dan tidak tahu bagaimana harus memperlakukan Asih sebagai binatang utamanya. Mengapa pihak studio begitu terburu-buru dalam membuat spin-off film "Danur : I Can See Ghosts" ini? Padahal skenario yang menjadi tiang kekuatan untuk film "Asih" ini sendiri tidak lebih baik dari film pertamanya (Btw, Gue benci film pertamanya), yah tidak lain dan tidak bukan, sejelek apapun filmnya, penonton pasti tetap akan berbondong-bondong memenuhi bangku bioskop untuk melihat aksi Mba Asih. Duh, KASIHan Mba Asih ini, sudah dua kali potensi keseramannya disia-siakan oleh Awi Suryadi dan kawan-kawan, seseram apapun tatapan yang dilakukan oleh Shareefa, semengerikan apapun lagu Indung Indung yang Shareefa nyanyikan, tetap saja eksekusi menakut-nakuti yang dilakukan Awi begitu cemen, rasanya Shareefa Daanish memang perlu menanggalkan baju pengasuhnya dan pensiun sebagai Mba Asih. Yuk Mba, ambil kembali gergaji mesinnya dan kembali memakai baju kebesaran Ibu Dara!


Rate : 1/5

Comments

Popular posts from this blog

Review The Tag-Along : Devil Fish (Hong Yi Xiao Nu Hai Wai Zhuan : Ren Mian Yu) (2018) : Legenda Ikan Iblis Di Taiwan

Review The Grudge (2020) : Kutukan Dendam Membara Yang Seharusnya Berakhir

7 Film Horror Indonesia Terburuk Tahun 2018

Review Eden Lake (2008)

Review Arwah Tumbal Nyai "Part Arwah" (2018) : Raffi Ahmad dan Rumah Produksinya, Generasi Baru KK Dheeraj