Review The Night Eats the World (La Nuit a dévoré le monde) (2018) : Bertahan Ditengah Kesepian Kota "Mati" Paris

Sutradara : Dominique Rocher

Penulis Skenario : Jérémie Guez, Guillaume Lemans, Dominique Rocher

Pemain : Anders Danielsen Lie, Golshifteh Farahani, Denis Lavant

Genre : Horror, Drama





Ketika mendengar premis yang "The Night Eats the World" tawarkan, sebagian orang (termasuk Gue) pada awalnya pasti akan tertuju pada film "28 Days Later" karya Danny Boyle, mengingat sama-sama memiliki beberapa kemiripan, termasuk pemilihan Ibu Kota suatu negara sebagai latar belakang aksi utama protagonis Kita yang nantinya diceritakan terbangun dan menyadari bahwa kota yang Ia tinggali kini telah berubah menjadi kota mati dan diisi oleh mayat-mayat hidup kelaparan, tentu ini merupakan suatu hal yang wajar. Pada awal durasinya, Gue malah sempat-sempatnya membayangkan kalau film yang diangkat dari novel berjudul sama karya Pit Agarman ini disajikan sebagai sebuah unofficial sequel bagi "28 Weeks Later" dimana virus "Rage" yang pada awalnya melumpuhkan kota London kini bergerak menuju ibu kota Prancis. Dengan menyajikan latar belakang Paris sebagai jualan utamanya, tidak salah bila hati kecil ini sempat mengharapkan adegan kejar-kejaran antara para survivors dan zombie-zombie di sekitaran menara Eiffel, yang pada penerapannya, justru berbanding terbalik dengan harapan. Alih-alih membuat sebuah zombie apocalypse penuh aksi berskala besar, film dengan judul asli "La Nuit a dévoré le monde" ini akan mengulik sisi lain dari wabah zombie yang hampir jarang ditemui dalam film sejenis, walaupun nantinya film ini malah terlihat mirip "I Am Legend" yang sudah diadaptasi ke dalam beberapa judul film, "The Night Eats the World" punya cara tersendiri melihat sudut pandang lain ketika zombie apocalypse terjadi.




Malam itu adalah malam terakhir bagi Sam (Anders Danielsen Lie) sebelum Ia hidup dalam kesendirian meratapi dunia yang Ia tinggali kini telah berubah. Dalam kelelapan tidurnya, Sam merupakan orang paling beruntung karena telah melewati kejadian paling mengerikan yang sudah mengubah peradaban manusia. Malam itu Sam meyambangi apartemen mantan kekasihnya untuk mengambil kaset-kaset miliknya yang tertinggal disana, Sam tak mengetahui bahwa ternyata mantan kekasihnya itu tengah mengadakan sebuah pesta yang cukup meriah, sempat mengalami benturan yang cukup keras dengan salah satu pengunjung pesta hingga membuat hidungnya berdarah ketika Ia akan mengambil barang-barangnya di sebuah ruangan, Sam pun tertidur pulas hingga keesokan paginya Ia baru menyadari bahwa Paris kini telah dilumpuhkan oleh zombie-zombie ganas yang mengerikan.




"The Night Eats the World" nampaknya memang tak akan terlalu fokus pada kiamat zombie yang melumpuhkan kota Paris, ini terbukti sepanjang durasi Kita tak akan diberi jawaban atas wabah yang telah terjadi, bahkan protagonis Kita juga nampaknya tak berusaha untuk mencari tahu lebih jauh mengapa kotanya itu kini menjadi "mati", spekulasi Gue ini kemudian diperkuat lewat salah satu adegan dimana Sam menganggap bahwa Ibunya tak mungkin bisa selamat dari kiamat zombie yang menyerbak begitu cepat ini, itulah mengapa kemudian Sam hanya fokus pada kelangsungan hidupnya. Tak lama setelah Sam mengetahui zombie melumpuhkan kota Paris, Dominique Rocher selaku sutradara mengajak penonton untuk mulai mengikuti kehidupan sehari-hari Sam dalam bertahan hidup di tengah kesepian yang membelenggunya, walaupun metode surviving ini memang lumrah terjadi dalam film zombie (bahkan salah satu adegan menampung air hujan mengingatkan Gue pada "28 Days Later") namun "The Night Eats the World" akan lebih menekankan pada intensitas sisi psikologis Sam untuk menciptakan rasa cekam, bagaimana kemudian nantinya kesepian yang Ia rasakan itu mengubah kepribadian dirinya yang berujung pada ketakutan dan keputus asaan, sisi kelam psikologi tokoh utama inilah yang nantinya mendominasi hampir keseluruhan durasi filmnya.

Ketika film zombie lainnya diisi oleh adegan kejar-kejaran antara para survivors dan zombie, mengisi hampir sebagian durasi filmnya dengan adegan makan otak dan jeroan bercampur darah (sebetulnya ini tipe Gue, but whatever), "The Night Eats the World" memiliki cara yang lebih halus dalam menuturkan kiamat zombienya, cukup sederhana namun efektif menyampaikan rasa takutnya kepada penonton, tetapi ini juga bukan berarti "The Night Eats the World" tidak punya sisi gross untuk dinikmati, Rocher masih tetap akan menampilkan zombie-zombie muka hancur bertangan buntung untuk "dinikmati" oleh penonton walaupun porsinya tak banyak.




Setelah Rocher memperlihatkan cara Sam untuk bertahan hidup, mengeksplor apartemen mantan kekasihnya untuk dijadikan benteng pertahanan dan menjadikannya tempat untuk mengisi kekosongan hari-harinya, Rocher tak lupa untuk menyisipkan beberapa adegan menegangkan bersama zombie-zombie sebagai selingan agar penonton tak dilanda kebosanan, yeah walaupun adegan face to face dengan zombie ini terkesan singkat dan kehadirannya bisa dihitung oleh jari, namun pada akhirnya Gue tak terlalu memperdulikan kuantitas adegan "ketemu" dengan zombienya karena toh Rocher memang ingin menjelajahi sisi lain yang jarang dieksplor dalam film zombie.
Kekuatan film ini memang terletak pada penggalian karakternya yang terfokus pada cara bertahan hidup ditengah kesepian, ketakutan, kegelisahan dan keputus asaan, inilah mimpi buruk sesungguhnya yang coba Rocher sampaikan (yang mungkin timbul) bila zombie apocalypse benar-benar terjadi. Ketika penonton kayak Gue mengharapkan ketegangan dan aksi tiada henti layaknya pada film-film zombie kebanyakan, Rocher mencoba memperkuat penyampaian kisahnya lewat pendekatan yang lebih personal, menghancurkan pikiran penonton lewat perubahan psikologi karakter utama yang dibangun secara perlahan (sangat sangat lamban) untuk menghasilkan koneksi antara penonton dengan situasi yang tengah dialami oleh karakter utama filmnya sebelum akhirnya Ia membiarkan zombie-zombie busuknya itu untuk berlarian mengejar tokoh utama Kita, hanya beberapa menit memang namun mampu menghasilkan klimaks yang sepadan dengan pesan moral yang juga mampu tersampaikan. Ngomong-ngomong, kapan terakhir kali Gue ngomongin pesan moral?


Rate : 3,5/5

Comments

Popular posts from this blog

Review The Tag-Along : Devil Fish (Hong Yi Xiao Nu Hai Wai Zhuan : Ren Mian Yu) (2018) : Legenda Ikan Iblis Di Taiwan

Review The Grudge (2020) : Kutukan Dendam Membara Yang Seharusnya Berakhir

7 Film Horror Indonesia Terburuk Tahun 2018

Review Eden Lake (2008)

Review Arwah Tumbal Nyai "Part Arwah" (2018) : Raffi Ahmad dan Rumah Produksinya, Generasi Baru KK Dheeraj