Review Midsommar (2019) : Neraka Jahanam Berkedok Surga Swedia


Sutradara : Ari Aster

Penulis Skenario : Ari Aster

Pemain : Florence Pugh, Jack Reynor, William Jackson Harper, Will Poulter, Vilhelm Blomgren

Genre : Horror, Drama




"Apakah Kau merasa dirangkul olehnya? Apakah Kau merasa Dia adalah tempat berlindung untukmu?"


Setahun berlalu sudah setelah "Hereditary" sukses membuat penonton gegar otak berkepanjangan, menakut-nakuti tanpa ampun hingga membuat Gue garuk-garuk kepala kepanasan sampai punya trauma psikis yang mendalam. Gue masih ingat betul bagaimana bangsatnya film debut Ari Aster itu menakut-nakuti Gue setengah mati di bangku bioskop, berteriak keras ketika melihat kepala si kecil Charlie putus terbentur tiang listrik, berdebar kencang ketika Toni Collette tiba-tiba muncul mengejar anaknya dari pojokan sampai masuk bagian yang membuat Gue napas sesak sekaligus ngilu sampai ke lutut : Toni memotong kepalanya sendiri menggunakan tali di langit-langit rumah.

Kini, orang di balik film setan itu kembali hadir membawa sebuah film yang sedari awal sudah Gue yakini, bakal segila "Hereditary". Ekspektasi tinggi pun muncul dengan penuh harapan semoga Gue akan kembali mendapatkan cinematic experience yang mengerikan sehingga bisa bikin Gue ejakulasi lagi sama seperti ketika Gue melihat si raja iblis neraka Paimon dan antek-anteknya itu.

Meski pada awal kemunculannya di lini masa, "Midsommar" yang punya konsep out of the box untuk ukuran film horror—"film apaan nih anjing?!"—tak luput dari serempetan yang mengarah pada folk horror lainnya yang sudah melegenda "The Wicker Man" karya Robin Hardy. Well, "Midsommar" sendiri akan bercerita tentang sekelompok muda-mudi yang datang ke sebuah pedesaan di Swedia untuk mengikuti sebuah festival budaya yang ada disana, dengan kedok untuk mengerjakan tesis kuliahan dan juga bercinta dengan gadis-gadis berambut merah. 

Pada titik ini, "Midsommar" mungkin akan terdengar seperti sebuah survival and travel movie biasa, Gue bahkan sempat memfantasikan film-film kanibal Italia tahun 80-an sebagai latar belakang "Midsommar", namun lebih dari itu, Ari yang sudah mendapat label "future master of horror" dari banyak orang, tentu tak akan membuat film keduanya ini mudah untuk disantap penonton begitu saja, baik penonton mainstream maupun horror freak sekalipun.

Sebelumnya Gue sempat dibuat tertawa oleh statment Ari yang mengatakan bahwa "Midsommar" adalah film horror pertama yang dia buat karena orientasi "Hereditary" lebih mengarah pada drama keluarga, wtf man! Hahaha. Melihat setiap materi promosi yang A24 luncurkan tentang "Midsommar" membuat Gue berpikir keras, mengapa Ari sendiri sampai punya pikiran bahwa "Midsommar" (yang secara visual sendiri "sangat terang") "lebih horror" dibanding "Hereditary" yang gelap-gelapan itu?. Well, memang tidak semua film horror itu tentang setan-setanan atau psikopat bertopeng, tapi Gue sendiri merasa bahwa film seperti "Midsommar" ini adalah sebuah ambisi besar untuk menggali rasa takut penonton dengan cara yang benar-benar berbeda, dan belum pernah ada (koreksi jika Saya salah).




Pada musim dingin, Dani Ardor (Florence Pugh), perempuan  yang punya rasa cemas berlebihan, harus mengikhlaskan kepergian kedua orang tuanya setelah dibunuh oleh adik kandungnya sendiri yang mengidap penyakit bipolar—bagian ini dibuat sangat sempurna, diiringi score mengerikan berjudul "Gassed" gubahan Bobby Krlic—. Dani memliki kekasih bernama Christian (Jack Reynor), yang sudah dipacarinya selama hampir 4 tahun, namun keduanya sama-sama tengah mempertimbangkan untuk mengakhiri hubungan mereka, dimana alasan keduanya sangat bertolak belakang. Dani ingin mengakhiri hubungannya karena tidak ingin memberi beban berlebih pada kekasihnya sedangkan Christian seakan sudah tak kuat menerima keluh kesah yang dimiliki oleh Dani.

Musim panas tahun berikutnya—setelah Dani dan Christian memutuskan untuk tidak berpisah—Mereka bersama teman-temannya, Mark (Will Poulter), Josh (William Jackson Harper) dan Pelle (Vilhelm Blomgren) berencana untuk berlibur di kampung halaman Pelle di Swedia untuk menghadiri festival budaya musim panas. Sebuah tempat yang indah, dimana sinar matahari menyinari setiap lahan, gadis-gadis desa menari melingkar-lingkar menggunakan mahkota bunga serta para warga yang selalu menyambut tamu dari luar dengan penuh keramah-tamahan. Namun siapa sangka? Dibalik indahnya surga Swedia, terdapat neraka jahanam yang mengintai Dani dan kawan-kawannya.




Sama seperti "Hereditary", Ari Aster tidak akan terburu-buru membuat kepala penonton kepanasan, separuh lebih durasi "Midsommar" nantinya akan digunakan untuk melakukan pendekatan pada karakter-karakternya, terutama pada karakter Dani yang diperankan dengan sangat apik oleh Florence Pugh, meski konteksnya berbeda dan memang tak sekuat performa Toni Collette sebagai Annie Graham, Florence mampu mengikat penonton masuk kedalam suasana hati yang lemah dan tak berdaya, terkesan cengeng, kebingungan namun masih memiliki harapan. 

Meski pola "Midsommar" lebih mudah untuk ditebak, namun Gue tak bisa menyangkal bahwa filmnya terasa dua kali lipat lebih sulit untuk dinikmati dibanding "Hereditary". Seperti sebuah fairy tale, "Midsommar" penuh akan unsur magis yang akan membuat penontonnya terpana oleh keindahannya, namun juga bertanya-tanya "maunya apa ini jing?".

Paruh yang sulit itu selain diisi oleh hubungan rumit Dani dan Christian, juga akan menjelaskan tentang pedesaan dengan segala kedok busuknya yang memang sudah tercium sejak awal. Meski terasa aneh pada awalnya, Ari mampu menyeimbangkan perasaan penonton yang sudah kebingungan lewat atmosfer yang tanpa terasa sudah mencekik secara perlahan di tengah siang bolong, melihat para warga tersenyum dan menari-nari seakan membuat Gue semakin waspada tiap menitnya, sesuatu yang sulit didapatkan dan patut diberi tepukan.




Gue tidak akan membahas lebih panjang tentang bagian sensor (yang jelas, sangat disayangkan), namun tetap masih bisa dinikmati asal tidak berharap berlebihan. Entah penilaian Gue akan tetap sama atau berbeda bila menonton versi uncut-nya atau bahkan director's cut-nya yang berdurasi 171 menit itu, namun Gue tetap akan menyukai "Midsommar" bagaimanapun itu. Sebuah horror baru yang mampu menyatukan keindahan dan terror dengan dibalut rasa traumatik yang amat menyiksa jiwa dan raga. Film yang keji, kejam, jahat dan tak berkeprimanusiaan. Tak salah bila pada akhirnya Ari Aster kini menjadi junjungan baru dalam sinema horror dunia, moral bejatnya memang tak pernah tanggung-tanggung dalam menyiksa penonton. Gue masih ingat betul kekuatan yang dimiliki oleh "Hereditary", benar-benar membuat gila sampai-sampai tak bisa nyenyak tidur selama beberapa hari. Dalam "Midsommar" mungkin banyak penonton yang akan merasa tak nyaman karena filmnya sungguh terasa aneh, beberapa penonton lagi mungkin akan kecewa karena memiliki ekspekatsi yang sama seperti ketika mereka melihat torture-porn macam "A Serbian Film", seperti yang sudah Gue katakan diatas, Gue memiliki harapan yang tinggi untuk film ini, dan hasilnya benar-benar tak mengecewakan.

"Midsommar" telah memperkosa otak kosong Gue secara perlahan-lahan sejak awal, kedok horror yang ditutup-tutupi sedari awal itu akhirnya terbongkar juga pada menit-menit akhir. Ini bukan soal bagaimana cara Ari Aster menakut-nakuti penontonnya, namun ini semua tentang niat jahatnya yang benar-benar sudah diluar kendali nalar kita, sesuatu yang sulit untuk dijelaskan lewat kata-kata namun sangat kuat ketika dirasakan dan diperhatikan detail demi detailnya. 

Setiap hari setelah pulang dari bioskop kala itu, Gue selalu teringat kembali dengan bagian endingnya, dan itu benar-benar sinting dan murni jahatnya. Gue belum pernah nonton film seperti ini sebelumnya, dan film ini telah membuat pikiran Gue begitu kacau. "Midsommar" adalah film horror sekaligus film putus cinta yang sangat liar (dan film putus cinta tak pernah pergi sejauh ini.) uh OH!


Rate : 4/5

Comments

Popular posts from this blog

Review The Tag-Along : Devil Fish (Hong Yi Xiao Nu Hai Wai Zhuan : Ren Mian Yu) (2018) : Legenda Ikan Iblis Di Taiwan

Review The Grudge (2020) : Kutukan Dendam Membara Yang Seharusnya Berakhir

7 Film Horror Indonesia Terburuk Tahun 2018

Review Eden Lake (2008)

Review Arwah Tumbal Nyai "Part Arwah" (2018) : Raffi Ahmad dan Rumah Produksinya, Generasi Baru KK Dheeraj