Review Honeyland (Medena zemja) (2019) — App Summer 2020

Sutradara : Tamara Kotevska, Ljubomir Stefanov


Genre : Dokumenter















"Kenapa Kau tak pergi meninggalkan tempat ini?"


***

This film screened at An Appalachian Summer Festival 2020

***


Jauh di ujung belahan dunia, di tempat terpencil yang jarang terekspos oleh media, ketika Kita selalu disuguhkan oleh megahnya menara-menara kaca ibu kota dimana kejadian-kejadian penting silih berganti menemani hari-hari lewat berita massa, dua dokumaker dari North Macedonia, Tamara Kotevska dan Ljubomir Stefanov membawa kita mengikuti keseharian Hatidže Muratova, seorang perempuan tangguh, salah satu peternak lebah liar terakhir di Eropa.


Hatidže tinggal bersama ibunya yang sudah tua renta dan sakit-sakitan, Nazife di sebuah desa terpencil Bekirlija, dimana Mereka berdua adalah penghuni terakhir desa tersebut. Desa yang terletak sangat jauh dari pusat keramaian itu—akses menuju ibu kota Skopje, tempat Hatidže menjual madunya ditempuh dalam waktu empat jam—tidak memiliki akses listrik dan sumber air. Ya, Mereka mengisi waktu berdua bersama sebagai ibu dan anak yang menikmati hari-hari tuanya. Lewat "Honeyland" kedua sutradara tak hanya akan fokus pada kegiatan ternak lebah liar yang Hatidže lakukan namun juga sembari mengikuti keseharian Hatidže merawat ibunya. 



Suatu hari datanglah keluarga peternak nonmaden menyambangi desa Mereka. Adalah Hussein Sam dan istrinya Ljutvie serta ketujuh anaknya yang menggantungkan hidup Mereka lewat ternak sapi. Pada awalnya kehidupan Hatidže terlihat normal seperti biasa, Ia juga mulai membangun hubungan harmonis dengan keluarga Hussein, terlebih dengan anak-anaknya. Tak butuh waktu yang lama agar hubungan kedua keluarga ini terjalin, terlebih Hatidže memang merupakan sosok periang dan ramah.


Melihat potensi peternakan lebah Hatidže yang menguntungkan, Hussein akhirnya ikut banting stir melakukan hal yang sama : beternak lebah. Hatidže dengan senang hati membantu keluarga Hussein, Ia menerapkan konsep "half for them, half for us" atau "Kita hanya mengambil setengahnya", namun ketika permintaan pasar meroket, Hussein yang telah terbutakan oleh uang serta keuntungan, terpaksa "melanggar" konsep yang ada hingga akhirnya lebah-lebah miliknya menyerang sarang lebah milik Hatidže, keseimbangan alam pun rusak, begitu pula dengan relasi kedua keluarga ini.



"Honeyland" dibuka dengan sangat sempurna, kolaborasi indah antara gambar dan suara yang diciptakan memang bukan hanya untuk memberikan penonton pengalaman cinematic yang tak terlupakan namun juga untuk memberi petunjuk sejak awal bahwa "Honeyland" bukanlah dokumenter ternak lebah yang biasa-biasa saja. Lihat saja Hatidže yang berjalan menelusuri lahan kosong luas yang membentang sepanjang mata—yang pada tiap sorotannya diambil dengan sangat epik oleh duo cinematographer Fejmi Daut dan Samir Ljuma—hingga Ia harus mendaki lereng pegunungan untuk mengambil madu lebah liar. Sisi keberanian yang ada dalam dirinya selanjutnya tak membuat Saya heran bila pada akhirnya Hatidže tetap bertahan di desanya.


Dipresentasikan tanpa narasi voice over, penonton disini nantinya akan mengobservasi filmnya secara mandiri, melihat dan merasakan setiap kejadian yang kedua sutradara ini tampilkan. Semuanya berjalan secara natural, tanpa ada pengarahan, realita yang tertangkap kamera dalam "Honeyland" berjalan bagaikan air yang mengalir tanpa hambatan. Eksplorasi yang terjalin dalam film ini bukan hanya soal keseimbangan ekosistem, konsumerisme atau tentang pelajaran kehidupan semata, ada sesuatu lain yang lebih penting yang ditampilkan "Honeyland", dan itu ada dalam diri subjek utamanya. Fakta bahwa sosok Hatidže ditengah kesendiriannya tetap tangguh, pemberani dan ceria tak sedikitpun membuat filmnya terasa menyedihkan walaupun kisah kehidupannya sulit untuk dibayangkan, senyum lebarnya menjelaskan bahwa kebahagian dan harapan itu selalu ada.



Siapa sangka ternyata dokumenter yang diluar terlihat seperti proses peternakan lebah biasa bisa mengandung banyak komponen luar biasa yang tak pernah Saya pikirkan sebelumnya. Durasi 87 menit filmnya dipresentasikan dengan visual yang menghipnotis mata dan diisi dengan detail observasi penuh makna, tak salah bila film ini mencetak sejarah sebagai film pertama yang menyabet nominasi kategori Best Documentary Film serta Best International Film dalam sejarah Oscar. Terbaik!



Rate : 5/5


Comments

Popular posts from this blog

Review The Tag-Along : Devil Fish (Hong Yi Xiao Nu Hai Wai Zhuan : Ren Mian Yu) (2018) : Legenda Ikan Iblis Di Taiwan

Review The Grudge (2020) : Kutukan Dendam Membara Yang Seharusnya Berakhir

7 Film Horror Indonesia Terburuk Tahun 2018

Review Eden Lake (2008)

Review Arwah Tumbal Nyai "Part Arwah" (2018) : Raffi Ahmad dan Rumah Produksinya, Generasi Baru KK Dheeraj