Review Lady Time (Neiti Aika) (2020) — EUFF 2020 KAZ

Sutradara : Elina Talvensaari


Genre : Dokumenter


Negara : Finlandia













"Album ini adalah hadiah dariku untukmu, Aku harap suatu hari semua foto ini akan menceritakan perjalanan hidup yang Kita lewati"


***

This film screened at European Film Festival 2020 — Kazakhstan

***


Apa yang terlintas dalam benak Kita ketika mempunyai barang-barang milik orang yang sudah meninggal? Aneh atau mungkin takut adalah hal yang wajar. Itulah yang juga menyambangi perasaan Elina Talvensaari ketika pindah ke apartemen baru yang ternyata sebelumnya dihuni oleh seorang perempuan tua yang meninggal tanpa adanya relasi keluarga. Sendiri dan hilang, terlupakan bagaikan debu yang tertiup oleh angin yang berhembus pelan-pelan.



Namanya Sirkka-Liisa, Ia tutup diusia ke 98, semua barang-barang yang Ia miliki terlantar begitu saja di dalam apartemennya. "Aku tidak suka barang-barangnya ada di dalam rumahku", perasaan tak nyaman itulah yang muncul dalam benak Elina ketika mengetahui fakta tentang pemilik apartemen sebelumnya, namun Elina berfikir Dia adalah orang terakhir yang menyimpan kenangan hidup Sirkka-Liisa yang mungkin sangat berharga bagi dirinya, atas dasar itulah kemudian Elina mencoba untuk mencari tahu dan memahami tentang kehidupan Sirkka-Liisa.



"Lady Time", atau dalam bahasa aslinya berjudul "Neiti Aika" bisa dikatakan adalah sebuah dokumentasi kehidupan orang biasa yang terlupakan oleh zaman, yang bagi sebagian orang mungkin tak terlalu penting adanya namun bagi orang-orang seperti Elina ini merupakan sebuah penghormatan. Dokumenter sejatinya adalah ekspresi diri dalam mendokumentasikan kejadian untuk kepentingan ilmu pengetahuan juga memelihara catatan sejarah. 


"Lady Time" mengemban tugas yang cukup sulit untuk diterima nalar, mengharuskannya melihat kembali sejarah seseorang yang tidak Kita kenal lewat barang-barang yang dimiliki oleh orang yang sudah meninggal kemudian mempresentasikannya lewat kacamata sang sutradara. Luar biasanya Elina membawa dokumenter 60 menitnya ini menjadi sebuah sajian puitis yang mengharukan, hangat dan penuh kenangan namun disatu sisi lain juga menohok isi hati. Menyelami fakta-fakta tentang Sirkka-Liisa lewat surat, catatan, foto-foto dan "diary" usang miliknya membuat penonton ikut merasakan kebahagian dan kepedihan perjalanan hidup yang Sirkka-Liisa lewati, bagaimana Ia melewati masa-masa sulit saat peperangan, kesakitan, kehilangan serta tahun-tahun terakhirnya yang Ia lewati (terlihat seperti) tanpa ada rasa beban. Semua itu disusun berdasarkan observasi silsilah keluarga yang kemudian dinarasikan lewat surat-surat tulisan tangan yang menggambarkan suasana isi hati para subjeknya, termasuk ibu dan suami Sirkka-Liisa, penonton diajak untuk memahami sedikit-demi-sedikit persfektif yang Elina sampaikan lewat komponen-komponen tersebut.



Menonton "Lady Time" seakan mengingatkan Kita kembali untuk menikmati setiap momen yang terjadi dalam diri Kita, bagaimana film ini menyampaikan kegembiraan dan kesedihan orang asing dengan penuh perasaan patut diberi tepukan. Film ini pada awalnya bermula tentang penataan kehidupan masa depan sebuah keluarga kecil yang kemudian berubah menjadi sebuah pengeksplorasian masa lalu kehidupan satu abad seseorang. "Lady Time" merupakan penemuan kecil yang disalurkan lewat perasaan seorang perempuan, dan untuk perempuan.




Comments

Popular posts from this blog

Review Jaga Pocong (2018) : Semua Berjalan Baik-Baik Saja Hingga Bagian Ending Merusak Segalanya

Review Kafir : Bersekutu Dengan Setan (2018) : Horror Mencekam Dengan Visualisasi Yang Memukau

Review The Origin of Santet (2018) : Dibintangi Kelly Brook, Bangkitkan Horror Mesum di Indonesia?

Review Arwah Tumbal Nyai "Part Nyai" (2018) : Tak Beri Perubahan, Trilogi Horror Penyembahan Setan RA Pictures Makin Terbelakang #PengabdiNyai

Short Films Review — Sundance 2022