Review Little Joe (2019) — EOS 2020

Sutradara : Jessica Hausner

Penulis Skenario : Jessica Hausner, Geraldine Bajard

Pemain : Emily Beecham, Ben Whishaw, Kerry Fox

Genre : Horror, Sci-Fi, Drama

Negara : Austria

















***

This film screened at Europe on Screen 2020

***


Ketika Saya tahu "Little Joe" adalah sebuah film horror, tentu Saya dengan bersemangat menyambutnya. Saya lupa pertama kali mendapat kesempatan menonton film ini di festival mana, namun sayangnya Saya melewatkan kesempatan itu karena kebanyakan mikir tentang dimana letak "horror"-nya "Little Joe". Dan ketika mengetahui film ini tayang dalam pagelaran Europe on Screen kemarin, film ini adalah film pertama yang Saya cicipi. 


Alice (Emily Beecham) adalah orang tua tunggal yang bekerja sebagai seorang ilmuan tanaman di sebuah korporasi penelitian. Bersama rekan satu timnya Chris (Ben Whishaw), Alice sedang mempelajari dan membudidayakan tanaman bunga berwarna merah yang tak hanya indah namun diyakini sebagai tanaman antidepresan yang dapat membuat manusia merasa bahagia. Bunga spesial tersebut diberi nama Little Joe dan Alice secara terselubung membawa satu tanaman uji cobanya itu ke rumah dan memberikan kepada anaknya untuk dirawat. Little Joe harus dijaga dalam suhu tertentu, disiram dan tentunya sebagai sebuah tanaman terapi, bunga ini harus diajak "berkomunikasi".

Pada awalnya Alice berharap tanaman yang sedang Ia budidayakan ini dapat membuat pemiliknya merasa bahagia, namun kemudian Little Joe mulai menunjukan efek samping yang menjadi awal dari sesuatu yang tidak diharapkan oleh Alice. Kejanggalan pertama muncul pada seekor anjing jinak yang tiba-tiba berubah sifatnya, begitu pula pada rekan-rekan Alice yang lainnya, termasuk anaknya sendiri. 


Konsep dari "Little Joe" ini sendiri bisa dibilang unik, Jessica Hausner merangkai adegan demi adegan dalam filmnya dengan pace yang lamban, disatukan dengan production design yang minimalis namun menghipnotis, alih-alih memfokuskan filmnya pada adegan dengan tensi emosi yang menggebu-gebu, horror psikologis-fiksi-ilmiah-slow-burn ini sedari awal telah membuat perbedaan emosi pada karakter-karakternya ; Alice yang cenderung dingin dan tenang, anaknya yang ramah dan hangat, Chris yang lembut dan memiliki perasaan pribadi pada Alice, serta rekan lainnya, Bella (Kerry Fox) memiliki sifat ganda yang akan menjadi senjata filmnya. Nantinya lewat karakter-karakter inilah eksplorasi horror "Little Joe" akan dimainkan.

Lewat karakternya inilah Jessica menyuntikan rasa horrornya perlahan demi perlahan, memang tak akan sekuat film-film sejenis namun perubahan karakteristik yang terjadi pada filmnya ini membuat perasaan Saya makin tidak nyaman. Ketika penonton digiring untuk meyakini efek dari bunga Little Joe adalah membuat pemiliknya bahagia, Jessica mengubah cara pandang itu menjadi suatu pola pikir kuat bagi karakternya untuk melindungi bunga-bunga tersebut, jadi ketika karakteristik beragam para tokohnya berubah menjadi satu tujuan, Mereka akan melindungi bunga itu bagaimapun caranya. Hebatnya, Jessica tak pernah mengambil langkah extreme yang akan membuat filmnya terasa jomplang dengan memasukan adegan "violence & gore" di dalamnya. Bahkan adegan dimana salah satu karakternya meninggal jatuh dari lantai atas, Jessica tak memperlihatkan adegan itu, membuat filmnya tetap terasa menarik. 


Seperti yang Saya sebutkan diatas soal desain produksi, bagian ini memang mengambil andil cukup besar dalam pembangunan atmosfir horrornya. Masih ingatkah bagaimana Dario Argento merancang mimpi buruk lewat permainan desain bagunan, warna dan suara dalam "Suspiria" dan "Inferno"? "Little Joe" juga menerapkan hal serupa. Dengan keminimalisan estetik laboratorium penelitian yang didominasi oleh warna-warna mencolok yang berani menimbulkan kesan indah yang beri rasa tak nyaman (dalam artian yang bagus).
Ketika banyak yang mengkritik soal musik gubahan komposer asal Jepang, Teiji Ito, yang oleh orang-orang disebut sebagai pemilihan musik yang salah, Saya malah menyukainya. Komposisi musik yang Ito berikan bukan hanya sejalan dengan filmnya yang terkesan dingin dan pelan, namun kearifan budaya Jepang yang masuk kedalam filmnya sendiri memberi kesan yang semakin absurd dan mengerikan. Meski Saya akui film ini memiliki potensi yang dapat membuat penonton tidur dilahap rasa bosan namun bila Kita bersabar sampai akhir durasinya, efek psikis dari berbagai komponen yang "Little Joe" berikan akan membekas dalam benak pikiran. 

"Little Joe" tayang pertama kali di Cannes Film Festival 2019 dalam kategori kompetisi memperebutkan Palme d'Or dan secara mengejutkan menyabet penghargaan Best Actress untuk Beecham.


Comments

Popular posts from this blog

Review The Tag-Along : Devil Fish (Hong Yi Xiao Nu Hai Wai Zhuan : Ren Mian Yu) (2018) : Legenda Ikan Iblis Di Taiwan

Review The Grudge (2020) : Kutukan Dendam Membara Yang Seharusnya Berakhir

7 Film Horror Indonesia Terburuk Tahun 2018

Review Eden Lake (2008)

Review Arwah Tumbal Nyai "Part Arwah" (2018) : Raffi Ahmad dan Rumah Produksinya, Generasi Baru KK Dheeraj