Review The Swarm (La Nuée) (2021)

Sutradara : Just Philippot

Penulis Skenario : Jérôme Genevray, Franck Victor

Pemain : Suliane Brahim, Sofian Khammes, Marie Narbonne, Raphael Romand

Genre : Horror

Negara : Perancis















Belalang hinggap di atas pagar. Pagar dekat pohon cabai. Kalau Kamu Rajin belajar. Cita-citamu pasti tercapai. Sebuah kutipan pantun untuk Virginie Hébrard (Suliane Brahim), seorang janda dari dua anak remaja, Laura (Marie Narbonne) dan Gaston (Raphael Romand) yang sedang mengalami krisis keuangan hebat. Keluarga kecil ini memiliki sebuah peternakan dengan lahan yang cukup luas di belakang rumah Mereka. Dahulu keluarga ini beternak kambing hingga setelah sang suami meninggal dunia, Virginie banting setir beternak belalang untuk dijadikan tepung tinggi protein. Meski memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, tepung belalang ini memang memiliki pasar yang cukup sempit hingga Virginie harus mencari berbagai cara supaya peternakannya bisa terus guling modal, bahkan sampai menjual tepung tinggi protein itu untuk dijadikan ternak bebek. Selain dililit oleh hutang, produksi belalang yang tak banyak juga semakin membuat Virginie frustasi. Relasi antar ibu dan anak ini pada akhirnya memburuk ketika beberapa anak remaja selalu mengolok-olok Laura tentang ibunya yang beternak belalang. Suatu hari Virginie menyadari bahwa belalangnya memperlihatkan hasil yang cukup progresif ketika memakan darah manusia, namun Ia tak menyadari bahaya dari akibat yang dilakukannya.



Film terbaru yang digondol oleh Netflix berjudul "The Swarm" ini memiliki premis tentang belalang ternak yang menggila setelah memakan darah manusia. Hmm, membayangkannya saja sudah bikin mata berputar 380 derajat dan rasanya ingin mengeluarkan otak terlebih dahulu sebelum menontonnya. Membayangkan apa jadinya bila film ini diproduksi oleh Syfy, mungkin Virginie akan dipaksa mengacak-acak-kan rambutnya sembari berteriak histeris ketika dia tahu belalang-belalang ternaknya meloncat-loncat ke jendela rumah, mencoba menerobos masuk dan menggerogoti kedua anaknya. Namun ditangan Just Philippot, film dengan premis kelas B ini akan diubah menjadi suguhan horror-drama artistik yang tak hanya mencengangkan, namun juga tak akan bisa dilupakan.


Film natural horror atau "animals run amok" semacam ini memang seringkali disepelekan. Selain banyak pihak yang menggunakan cgi murah untuk creature-nya, film seperti ini juga dibuat untuk ditertawakan oleh penontonnya dalam artian kebanyakan tak digarap dengan serius oleh pembuatnya. Namun jika kita menilik historinya kebelakang, film seperti "The Birds" dan "Jaws" mampu berada dijajaran film dengan kualitas diatas rata-rata. Lalu apa yang membuat kedua film itu sukses besar baik secara kualitas maupun pasaran?



Kesabaran. Kata itu merupakan ungkapan tepat untuk menggambarkan mengapa "The Birds" dan "Jaws" mampu membuat penontonnya mengalami trauma dengan antagonis filmnya. Mereka tak membongkar creature-nya secara blak-blakan diawal, alih-alih kedua film ini memfokuskan pada pembangunan jalan cerita dan karakter untuk menghasilkan kepedulian penonton terhadap filmnya. Selayaknya kedua film tersebut, Philippot juga menggunakan trik tersebut.


Ia tak akan mengungkapkan horrornya secara gamblang pada paruh pertama filmnya. Ia lebih memfokuskan pada drama keluarga Virginie dengan segala masalahnya ; keuangan, keterpurukan, pertengkaran dan kisah cinta. Meski mungkin terdengar berat, apalagi bagi penonton yang berharap bahwa belalang-belalang ini bisa berulah segila-gilanya mencabik cabik daging manusia, "The Swarm" menurut Gw adalah sebuah keberhasilan besar.



Harus diakui meski dengan tempo yang sangat lambat dan durasi yang cukup membuat mata kelehahan, penantian panjang "The Swarm" sepadan dengan hasilnya. Memang tak akan ada banyak adegan mendebarkan yang membuat jantung berdegup kencang, namun adegan-adegan inti dari "The Swarm" mempu membuat mata tercengang. Kombinasi sempurna antara keindahan dan terror nyata dari serbuan belalang. Serbuan maut yang Philippot luncurkan di 20 menit akhir terbungkus dengan indah, cemerlang, dan menghantui pikiran. Sudah saatnya lah film natural horror seperti ini tergarap dengan serius, layaknya yang sutradara ini lakukan. Good job Philippot! Hasilnya memuaskan.




Comments

Popular posts from this blog

Review The Tag-Along : Devil Fish (Hong Yi Xiao Nu Hai Wai Zhuan : Ren Mian Yu) (2018) : Legenda Ikan Iblis Di Taiwan

Review The Grudge (2020) : Kutukan Dendam Membara Yang Seharusnya Berakhir

7 Film Horror Indonesia Terburuk Tahun 2018

Review Eden Lake (2008)

Review Arwah Tumbal Nyai "Part Arwah" (2018) : Raffi Ahmad dan Rumah Produksinya, Generasi Baru KK Dheeraj