Review DreadOut (2019) : Survival Horror Fantasi Arahan Kimo Stamboel Yang Kurang Memuaskan

Sutradara : Kimo Stamboel

Penulis Skenario : Kimo Stamboel

Pemain : Caitlin Halderman, Jefri Nichol, Marsha Aruan, Isyadillah, Ciccio Manassero, Susan Sameh, Mike Lucock, Miller Khan, Hannah Al Rashid, Rima Melati Adams

Genre : Horror




*Mengandung Beberapa Spoiler*


Tak bisa disangkal bahwa nama Mo Brothers—duo sutradara sinting bertalenta besar yang terdiri dari Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto—memang sudah memberi warna berbeda (read : merah) dalam industri horror lokal. Lewat kolaborasi film panjang pertama Mereka, "Macabre" alias "Rumah Dara" yang diadaptasi dari film pendek "Dara", duo Mo Brothers telah membuktikan bahwa masih ada orang sinting di negeri Kita yang dengan senang hati menyuguhkan tontonan gila penuh kucuran darah yang tak henti-hentinya mengalir membasahi wajah penonton yang sudah lama mendamba-dambakan tontonan over-the-top gore. Setelah melewati tahun-tahun penuh kekerasan, bacok-bacok-an-penjagalan hingga dar-der-dor tembakan di kepala bersama-sama, tahun 2018 bisa dibilang tahun permulaan dimana duo Mo Brothers "berpisah" untuk mengerjakan projek solonya masing-masing, dimulai dari Timo yang menggarap "The Night Comes For Us" di tahun 2014 silam yang akhirnya berhasil beredar juga di jaringan Netflix tahun ini, film matrial arts yang dibintangi Joe Taslim dan Iko Uwais itu telah kembali membuka mata dunia atas kehebatan dan talenta anak bangsa. Kemudian film bioskop solo pertamanya "Sebelum Iblis Menjemput" adalah sebuah anugerah yang mampu kembali mengangkat industri horror Kita ketingkat yang lebih tinggi, film laknat yang mampu membuat penontonnya ketakutan setengah mati dihantam terror non stop duo setan Ruth Marini dan si gahar Karina Suwandi.

Tak salah bila pada akhirnya ekspektasi melambung tinggi menunggu-nunggu film terbaru arahan Kimo Stamboel yang diadaptasi dari game horror populer produksi Digital Happiness Bandung, "DreadOut". Sebagai orang yang belum pernah memainkan gamenya, Saya cukup terpincut oleh beberapa materi promosi film ini yang sempat membuat air liur bercucuran keluar. Bagaimana tidak, pocong dengan cerulit? Such a badass icon, belum lagi tampilan poster yang memajang keganasan wanita berkebaya merah, lalu poster karakter Ciccio Manassero dengan kapak besarnya itu, terlihat sangat menjanjikan bila melihat track record dari sutradaranya, berharap "DreadOut" nantinya bisa tampil ganas—seganas trailernya, walaupun hati kecil Saya memang tidak bisa berbohong sedikit agak pesimis melihat jajaran pemainnya, terutama Jefri Nichol yang sebelumnya bermain dalam dwilogi "Jailangkung" remake yang mana bagian keduanya sukses merenggut logika penonton dan tampil lebih amburadul dari pendahulunya.




"DreadOut" kemudian mengajak Kita berkenalan dengan Linda (Caitlin Halderman), siswi kelas 11 SMA yang memiliki masa lalu kelam dimana Ia dan ibunya diculik oleh perkumpulan kultus yang sedang melakukan ritual agar bisa membuka portal ke dunia alam gaib, namun usaha keji yang sedang Mereka lakukan pada akhirnya berhasil digagalkan oleh pihak kepolisian. Kehidupan keluarga Linda saat ini sedang mengalami krisis keuangan, sehingga Ia harus rela bekerja setelah sepulang sekolah demi dapat bertahan hidup di dunia yang telah maju ini, hal tersebut pula lah yang menyebabkan anjoknya nilai ujian Linda karena begitu kelelahan hingga kejadian pada tahun 2008 silam yang tidak begitu diingatnya itu kembali terngiang-ngiang dalam pikiran.
Kemudian perkenalkan geng anak orkay yang ngebet viral, terdiri dari Erik (Jefri Nichol), Alex (Ciccio Manassero), Beni (Irsyadillah), Dian (Susan Sameh) dan Jessica (Marsha Aruan) yang merasa bahwa dirinya telah tersaingi oleh salah satu adik kelas yang memiliki jumlah follower sosial media lebih banyak dibanding dirinya, atas dasar tersebutlah geng Jessica ini kemudian memiliki rencana untuk membuat konten "yang berpotensi viral" di sebuah apartemen terbengkalai demi sesuap nasi, eh maksud Saya demi menaikkan jumlah follower Instagramnya.
Agar bisa masuk ke dalam apartemen tersebut, Mereka kemudian mengajak Linda yang memiliki koneksi dengan Kang Heri (Mike Lucock), satpam penjaga apartemen, dengan harapan Linda dapat membujuk Kang Heri supaya Mereka bisa masuk ke dalam tempat tersebut dengan imbalan berupa uang yang Linda butuhkan. Lalu selanjutnya sudah bisa ditebak, geng anak SMA ini masuk ke dalam kamar yang salah, tempat dimana ritual kultus mengerikan yang menimpa Linda dulu itu terjadi, sehingga mengakibatkan kemampuan tersembunyi yang Linda miliki pun terungkap; Ia dapat membuka gerbang alam gaib lewat secarik kertas yang berisi tulisan tak kasat mata yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu saja. Portal DreadOut pun terbuka, Linda dan teman-temannya pun harus menyelamatkan diri dari kekuatan supranatural yang mengerikan.

Ketika ekspektasi besar sudah menggebu-gebu ingin melihat sejauh mana Kimo dapat mengeksplorasi dunia alam gaib tempat pocong bercerulit berada, opening film ini pun sudah cukup menyumpal mulut Saya yang terus-terusan mengoceh tak sabar ingin melihat "DreadOut" sejak kabar penggarapannya diumumkan. Membuka filmnya dengan cara yang cukup meyakinkan, sayangnya "DreadOut" malah melakukan kesalahan fatal ketika sedang memperkenalkan karakter-karakternya, yang sebetulnya tidak terlalu Saya pedulikan juga karena (sebagai orang awam yang tak tahu video game-nya) Saya hanya akan duduk manis melihat satu persatu karakter dalam film ini bertahan hidup di dunia gaib yang meyeramkan, plus dengan berbagai macam monster yang ada di dalamnya.
Menilik film horror survival remaja yang dirilis tahun lalu, memiliki plot senada, juga diperankan oleh Marsha Aruan, apa lagi kalau bukan "13 the Haunted"-nya RA Pictures, yang menurut Saya pribadi punya penceritaan yang lebih terikat dan penggalian karakter yang lebih matang ketimbang "DreadOut", tidak mencoba untuk membandingkan efek CGI antar kedua belah pihak karena jelas "DreadOut" memiliki efek visual jempolan yang mencengangkan, hanya sekadar ingin membandingkan soal karakteristik setiap tokoh dan juga chemistry persahabatan yang ada di dalamnya, "13 the Haunted"-nya Raffi Ahmad jelas jauh lebih unggul. Geng The Jackal yang salah satunya dianggotai oleh Atta Halilintar ini cukup sukses men-deliver-kan setiap karakter yang mampu memberi nyawa terhadap filmnya, tanpa berusaha untuk melucu atau mencuri simpati, ikatan antar setiap karakternya sukses membawa Saya masuk ke dalam jiwa dan situasi yang tengah terjadi, berbeda dengan "DreadOut" yang berkali-kali mencoba sok asik dengan kata "anying"-nya yang entah sudah diucapkan berapa ribu kali, beberapa bagian komedi yang diselipkan juga makin membunuh mood Saya yang kala itu sudah mulai rapuh ditimpa kekecewaan.

Kesalahan paling menonjol dalam bagian penokohan terlihat pada karakter Erik (yah, lagi-lagi Jejef) yang diperkenalkan dengan momen yang cukup menggelikan sebagai salah satu protagonis utama filmya (walaupun sebenarnya karakter yang diperankan Jefri ini juga tidak terlalu penting adanya). Kemunculan pertama Erik tidak mampu memberikan kesan mendalam bagi Saya padahal filmnya sendiri akan mengindikasikan bahwa Linda memiliki rasa ketertarikan pada Erik, yang sayangnya tidak akan kembali digali pada babak-babak selanjutnya. Jujur saja Saya cukup terganggu dengan logat sunda yang Jefri lontarkan, mungkin bila Kimo—yang juga merangkap sebagai penulis skenario—tidak terlalu memaksakan dialog campuran yang Jefri ucapkan untuk memberi tahukan kepada penonton bahwa "DreadOut" bersetting di daerah Sunda, akan membuat penonton (khususnya yang berada di daerah Sunda) lebih nyaman mendengar setiap dialog menggelikan dan receh yang bertebaran. Menurut Saya pribadi logat Sunda Jejef sama menggelikannya dengan logat Minati Atmanegara yang telalu dipaksakan dalam film "Arwah Tumbal Nyai : Part Arwah" hahaha

*Adegan buka baju si Jejef juga tak penting untuk diekspos dan dibahas disini, Skipppp...




Kembali lagi pada pembahasan selanjutnya setelah karakter-karakter dalam "DreadOut" yang tidak bernyawa, hal lain yang cukup mengganggu Saya dalam film ini adalah ketidak-kuatan storytelling yang terkesan kebingungan melangkah sehingga mengakibatkan filmnya kehilangan momen-momen yang seharusnya mampu menggenjot adrenalin penonton ke level yang lebih mengerikan. Sempat menyentuh hit dan kemudian miss, "DreadOut" nampak masih bingung ingin bermain-main dalam ruang lingkup apartemen atau masuk lebih dalam ke alam gaib lewat portal yang beberapa kali terbuka dan tertutup ini, menyebabkan para karakternya terpisah dan bertahan didua dunia berbeda yang LAGI-LAGI menyentuh hit and miss; memecah fokus penonton yang sudah tak sabar ingin dibacok pocong di dunia alam gaib. Jujur saja Saya cukup dibuat kelelahan oleh aksi para remaja yang masuk-keluar portal beberapa kali, belum lagi portal yang muncul dibeberapa tempat dan tiba-tiba tertutup tanpa alasan yang jelas membuat kebingungan semakin bertambah. Jangan tanya soal "senjata" Linda dalam film ini, sebuah hape tahan banting, tahan air hingga kedalaman beberapa meter yang bagi penonton bukan dari kalangan pemain gamenya, akan menjadi sebuah hole yang sangat mengganggu.

Bicara soal alam gaib yang ada dalam film ini, sebetulnya "DreadOut" memiliki potensi sebagai film survival horror fantasi yang menyeramkan, beberapa point of view ala-ala gaming yang dihadirkan juga makin menambah ketertarikan Saya terhadap film ini, hanya saja semua materi yang menggiurkan itu harus terjebak dalam kebingungan sang sutradara dalam mengeksekusi materi-materi gamenya. Untuk survival horror lokal versi "jauh lebih baik"-nya boleh ditengok "Keramat" arahan Monty Tiwa yang mampu menyuguhkan tontonan survival horror yang mengerikan, mampu memanfaatkan atmosfer alam gaib dan segala aspek yang ada di dalamnya sehingga membuat penonton tidak nyaman berada dalam setting yang dihadirkan, which means is a good thing. Saya masih ingat betapa mengerikannya film itu hingga membuat Saya kesusahan untuk tidur, bagian pocong dan keranda mayat sampai saat ini masih menghantui pikiran Saya.
Sama halnya seperti "Keramat", "DreadOut" seharusnya juga bisa bermain lebih asyik di alam gaib tempat dedemit-dedemit garang berada. Landscape hutan yang mengerikan dengan tone warna atmosferik yang membuat bulu kuduk bergidik rasanya tidak dapat dimanfaatkan dengan maksimal, didalamnya juga terdapat pasukan pocong bercerulit yang sayangnya hanya mendapat porsi seuprit, Kimo juga sempat menambah kegarangan fantasi "DreadOut" dengan hujan darah yang tak menimbulkan efek apapun bagi Saya pribadi, karena "DreadOut" sendiri tidak menyuguhkan serangan-serangan yang berarti bagi para remaja berisik ini.




Daya tarik "DreadOut"-pun makin memudar seiring dengan berjalannya durasi, tatanan produksi yang memumpunipun pada akhirnya tak bisa menyelamatkan film ini dari rasa bosan. Ditambah buruknya bagian penokohan, "DreadOut" seakan lebih peduli untuk mempertahankan Jefri Nichol dan kawan-kawannya untuk kembali dimasukan ke alam gaib dalam sekuelnya nanti ketimbang membunuhnya lewat bacokan pocong bercerulit yang sudah tampil dengan begitu meyakinkan. Alih-alih mendapat tontonan menyeramkan dan bangsat seperti "Sebelum Iblis Menjemput" dan "Rumah Dara", kali ini Saya harus puas disuapi ketidak jelasan narasi yang Kimo buat dalam film ini. Padahal pocongnya udah lama banget Gue tungguin, ANYIIIIINGGGG!!!!!


Rate : 2,5/5

PS : Untungnya dibalik rasa kekecewaan yang mendalam, terlepas dari bagusnya special effect dan keberanian Kimo dalam memberikan nuansa yang segar, karakter Dian (diperankan dengan baik oleh Susan Sameh), juga merupakan salah satu obat penenang buat Gue pas nonton film ini. Dian adalah salah satu contoh karakter film horror impian yang Gue damba-dambakan.

Comments

Popular posts from this blog

Review The Tag-Along : Devil Fish (Hong Yi Xiao Nu Hai Wai Zhuan : Ren Mian Yu) (2018) : Legenda Ikan Iblis Di Taiwan

Review The Grudge (2020) : Kutukan Dendam Membara Yang Seharusnya Berakhir

7 Film Horror Indonesia Terburuk Tahun 2018

Review Eden Lake (2008)

Review Arwah Tumbal Nyai "Part Arwah" (2018) : Raffi Ahmad dan Rumah Produksinya, Generasi Baru KK Dheeraj