Review How to Train Your Dragon : The Hidden World (2019) : Akhir Perjalanan Emosional Yang Tak Terlupakan

Sutradara : Dean DeBlois

Penulis Skenario : Dean DeBlois

Pengisi Suara : Jay Baruchel, America Ferrera, F. Murray Abraham, Cate Blanchett, Gerard Butler, Craig Ferguson, Jonah Hill, Christopher Mintz-Plasse, Kristen Wiig, Justin Rupple, Kit Harington

Genre : Animasi





Walaupun beberapa tahun belakangan ini studio animasi kenamaan Pixar seakan sedikit goyah, dimulai lewat "Cars 2" (2011) yang mendapat kritikan pedas, berlanjut pada "Brave" (2012) yang dianggap memiliki kualitas yang tak sama seperti film Pixar lainnya, sebagian bahkan menganggap "Wreck-It Ralph"-lah yang pantas mendapat Oscar, hingga prekuel pertama Mereka "Monster University" (2013) dan sekuel animasi keluaran tahun 2003 "Finding Dory" (2016) yang meski mulus di pasaran, pihak studio harus merelakan nominasi Oscar yang sering Mereka dapatkan. "Kegagalan" ini pun berlanjut pada film orisinil Mereka lainnya yang dirilis pada tahun yang sama dengan "Inside Out" (2015, Pemenang Oscar) "The Good Dinosaur". Walaupun kebanyakan kritikus menanggapinya dengan ulasan positif, fakta mengatakan bahwa selain gagal menyabet nominasi Oscar, film debutan animator Peter Sohn (sebelumnya menulis dan menyutradari film animasi pendek "Partly Cloudy", menjadi animator film "The Incredibles", "Ratatouille" dan sempat mengisi suara dalam film "Monster University") itu menjadi film Pixar dengan pendapatan terendah. Tidak heran pula setelah perilisannya, studio animasi yang memiliki motto "Where Story is King" itu sekarang lebih sering merilis sekuel-sekuel dari film-film sebelumnya yang telah sukses secara komersil dan kritikal, bahkan Mereka mengambil langkah penuh resiko dengan melanjutkan "Toy Story 3" yang dianggap sebagai penutup  yang sangat sempurna.

Disisi lain saudara seatapnya, Disney Animations kembali menemukan titik terang setelah mengalami masa kelam diawal tahun 2000-an (kemudian masa ini disebut sebagai masa Post Renaissance atau Second Dark Age) lewat film-filmnya yang kurang mendapat banyak acungan layaknya pada masa Renaissance—masa dimana Disney merilis animasi yang diangkat dari kisah-kisah terkenal, seperti "Beauty and the Beast" dan "Tarzan", film-filmnya sukses secara komersil dan kritikal—,dimulai dari "Fantasia 2000", Disney Animation seperti kehilangan jiwanya sebagai studio animasi ternama di dunia, meski "Treasure Planet" (2002) mendapat banyak pujian, film arahan duo sutradara "The Little Mermaid" dan "Aladdin" itu disebut-sebut sebagai salah satu film paling merugi dalam sejarah. Film-film lainnya yang masuk ke dalam masa Post Renaissance seperti "Atlantis : The Lost Empire" (2001), "Home on the Range" (2004) dan "Chicken Little" (2005) nampaknya tidak mempunyai sihir yang lebih untuk menghipnotis penonton.

Diakhiri oleh "Bolt" (2008), film animasi Disney pertama dibawah arahan John Lasseter sebagai chief creative officer, Disney Animation mulai kembali mengalami peningkatan dimana film-film selanjutnya pasca "Bolt", menghasilkan sebuah era kebangkitan baru yang disebut sebagai era Disney Revival. Film yang masuk pada masa ini diawali oleh "The Princess and the Frog" (2009), kemudian disusul oleh film-film lainnya yang kembali mengangkat kisah fairy tale dan mulai konsisten menggunaan CGI. Masa Revival sukses menghasilkan film-film berkualitas dengan pendapatan selangit serta makin membangun basis fans dan kepercayaan kepada studio animasi nomor wahid ini setelah dikecewakan pada masa Second Dark Age. "Tangled" (2010), "Frozen" (2013), "Big Hero 6" (2014), dan "Zootopia" (2016) adalah segelintir film yang mampu kembali mengangkat nama studio animasi Disney dari "lubang kegelapan".

Bicara soal animasi, nama DreamWorks Animation juga tak bisa dipandang sebelah mata. Meski perjalanan film Mereka tak semulus Pixar dan Disney Animation, dengan dirilisnya film terakhir dari seri "How to Train Your Dragon", DreamWorks Animation telah sukses membuat salah satu trilogi film terbaik dalam sejarah. Tak berlebihan menyebut seri ini sebagai salah satu yang terbaik karena memang Dean DeBlois yang kembali menggarap sekuelnya tanpa dibantu Chris Sanders di bangku penyutradaraan pasca film pertama tahu betul bagaimana membawa seri "How to Train Your Dragon" untuk terbang tinggi melampaui ekspektasi penonton.




Bila dalam film keduanya Kita akan dikenalkan dengan Valka (Cate Blanchett), ibu dari Hiccup (Jay Baruchel) yang menyelamatkan naga-naga tangkapan dari seorang penjahat bernama Drago (Djimon Hounsou) dan mengeksplor lebih jauh naga-naga liar jenis baru yang menakjubkan, pamungkas dari seri animasi yang diangkat dari buku anak-anak karya Cressida Cowell ini akan menekankan pada pergolakan batin tokoh utama Kita yang mengambil keputusan untuk mencari rumah baru bagi warga Berk dan para naga agar dapat hidup dengan damai. Kisahnya sendiri dimulai satu tahun pasca film sebelumnya dimana desa Berk yang kini sudah dihuni oleh ratusan naga hasil pembebasan dari para penagkap naga dirasa sudah tak mampu menampung naga-naga yang ada, disamping itu keputusan untuk mencari tempat yang disebut sebagai "the hidden world" untuk Mereka tinggali terdorong oleh gangguan salah satu pemburu naga paling terkenal dan keji, Grimmel (F. Murray Abraham) yang juga dikenal sebagai "pemburu dan pembunuh Night Fury". Ia adalah salah satu orang yang percaya bahwa naga harus dimusnahkan dari kehidupan manusia dan merupakan salah satu pemburu naga yang bertanggung jawab atas populasi Night Fury yang mendekati kepunahan, menyisakan Toothless dari jenisnya.




Perjalanan menemukan "the hidden world" bukan hanya akan menguji Hiccup dalam mengerahkan segala kemapuannya untuk kehidupan para penduduk desa dan para naga semata, namun juga dihadapkan dengan pilihan untuk mulai merelakan sahabat terbaik dalam hidupnya ketika Toothless bertemu dengan seekor betina Light Fury. Kisah asmara dua naga inilah yang nantinya juga akan mendominasi sebagian durasi filmnya, tentu bagi beberapa orang kisah "percintaan" antara Toothless dan Light Fury ini memang akan berpotensi menimbulkan rasa bosan, namun dibalik hadirnya Light Fury dan love interest Toothless sebagai seekor naga yang difungsikan sebagai komedi utama filmnya, "The Hidden World" tetap sukses menyajikan sebuah petualangan menyenangkan dengan berbagai action sequence menakjubkan dalam balutan animasi yang mengesankan sama seperti dua film sebelumnya. Dean DeBlois yang juga kembali menulis naskahnya mampu mengaduk perasaan penggemar maupun bukan penggemar dari seri ini lewat konflik batin yang Hiccup rasakan, bagaimana proses pendewasaannya berujung pada pemilihan keputusan yang besar bukan hanya untuk warga desa dalam kisah tulisan sang sutradara, namun juga pada penonton yang belum siap untuk meninggalkan Berk dan seisi filmnya, dan Saya yakin tidak ada yang siap untuk itu.

Jujur, sebagai salah satu orang yang menyukai film animasi, "How to Train Your Dragon" adalah salah satu film terbaik yang pernah Saya lihat. Saya bahkan sampai mengambil keputusan untuk membuat review film yang sudah Saya tonton sekitar 2 bulan lalu di bioskop dan mempostingnya dalam blog horror ini (itu artinya ini bukan blog full horror lagi ye kan).




"The Hidden World", meski bukan film animasi yang paling sempurna, merupakan salah satu film paling mencacah lubuk hati dan sukses membekas bagi Saya pribadi. Review ini memang akan terdengar sedikit agak lebay (sama seperti tulisan Saya yang lainnya), namun kegembiraan dan kesedihan Saya ketika menyambut "The Hidden World" tak akan pernah Saya lupakan. Duduk dijajaran paling depan diantara penonton lainnya, mencoba untuk tidak memikirkan bagaimana kualitasnya filmnya, terlepas nantinya tak se-epik dua pendahulunya (dan terbukti, HEBAT), Saya hanya ingin duduk, menikmati, tersenyum, tertawa dan merasakan kehangatan yang telah seri ini berikan sejak tahun 2010 silam, Saya sampai tak rela beranjak dari kursi bioskop setelah credit titlenya selesai bergulir, bukti bahwa Saya tak siap untuk berpisah dengan Hiccup dan teman-temannya. Dengan diisi oleh tiga film yang sangat kuat, emosional dan menakjubkan, terima kasih juga untuk gubahan musik John Powell yang menggetarkan jiwa, tak salah bila pada akhirnya "How to Train Your Dragon" dilabeli sebagai salah satu seri animasi terbaik yang pernah dibuat. Sebuah akhir yang sangat memuaskan untuk perjalanan yang luar biasa, "How to Train Your Dragon : The Hidden World" sekali lagi membuktikan bahwa mengucapkan selamat tinggal itu sangat menyulitkan.


Rate : 4,5/5

Comments

Popular posts from this blog

Review The Tag-Along : Devil Fish (Hong Yi Xiao Nu Hai Wai Zhuan : Ren Mian Yu) (2018) : Legenda Ikan Iblis Di Taiwan

Review The Grudge (2020) : Kutukan Dendam Membara Yang Seharusnya Berakhir

7 Film Horror Indonesia Terburuk Tahun 2018

Review Eden Lake (2008)

Review Arwah Tumbal Nyai "Part Arwah" (2018) : Raffi Ahmad dan Rumah Produksinya, Generasi Baru KK Dheeraj