Review The Last Shelter (Le Dernier Refuge) (2021) — DIFF 2021

Sutradara : Ousmane Samassekou

Genre : Dokumenter

Negara : Republik Mali






















***

This film screened at Durban International Film Festival 2021

***


Bagi sebagian orang menonton film dokumenter itu membosankan. Mendengar kata "dokumenter" saja sudah terasa berat, kata temanku. Dahulu Saya pun beranggapan seperti itu, karena bagi Saya (dan mungkin sebagian besar penonton di dunia) menikmati film fiksi lebih menyenangkan ketimbang menonton dokumentasi (yang konotasinya terdengar membosankan) tentang sesuatu peristiwa yang nyata. Tetapi tidak setelah Saya dikenalkan dengan beberapa dokumenter hebat, sebut saja "Senyap" asal Denmark yang menggali peristiwa Pembantaian Massal di Indonesia Tahun 1965 dan dokumenter asal North Macedonia "Honeyland" yang begitu menghipnotis mata.

Menonton film dokumenter bagi Saya sekarang bukan hanya sebagai ajang pengisi kekosongan semata dikala pikiran butuh hiburan, namun sebuah keharusan sebagai sumber ilmu pengetahuan yang penting untuk dicari. Dari berbagai dokumenter yang telah ditonton tahun ini, Saya bisa mengatakan bahwa "The Last Shelter" karya Ousmane Samassekou dari Republik Mali merupakan film dokumenter terbaik tahun ini.


Kota Gao di Republik Mali sudah bertahun-tahun menjadi tempat peristirahatan bagi orang-orang di benua Afrika yang akan pergi menembus gurun Sahara. Di tepi kota itu, di gurun Sahel terdapat pengungsian bernama House of Migrant, tempat dimana Mereka yang memiliki harapan, keputusan asaan, yang ingin mengejar mimpinya ke Eropa atau negeri lain di Afrika, atau Mereka yang akan kembali  ke negara asalnya berkumpul di tempat ini. Banyak dari pengungsi disini merupakan korban perampokan, penipuan, atau pemerkosaan dari daerah yang dikuasai oleh Al-Qaida.

Tutur cerita Samassekou dalam film ini begitu memukau. Adegan pembukanya memperlihatkan bagaimana hamparan gurun terik diluar tempat pengungsian menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi Mereka yang identitasnya tak diketahui dengan jelas. Nisan-nisan rapuh berjejer dengan tanda tempat asal Mereka (Pantai Gading, Guinea, Togo, dan lain sebagainya) yang tak akan pernah mendapat kunjungan ziarah dari keluarganya. Itulah mengapa Eric Alain Kamdem, pengelola House of Migrant mengatakan betapa penting baginya untuk mendapatkan informasi lebih tentang keluarga para pengungsi.

Samassekou kemudian mengarahkan kameranya bergerak di atas jalanan dengan pasir-pasir sebagai alasnya, melewati pemukiman warga sekitar hingga Kita dipertemukan dengan tempat pengungsiannya : bagunan sederhana bertingkat dengan dinding, pintu dan gerbang berwarna biru aqua yang begitu menenangkan dan kasur tipis sebagai alas tidur Mereka. House of Migrant menjadi tempat penampungan sementara bagi beberapa orang, diantara Mereka Kita akan dikenalkan dengan Mariko, seorang pria yang berkata bahwa Dia akan menikahi gadis yang Ia lihat di jendela dan akan membawanya ke Eropa; Natacha, seorang wanita yang berusia hampir 50 tahun yang selalu menghabiskan waktunya bermain catur dan dadu sendirian; juga seorang wanita yang Saya tak ingat namanya, namun dalam tutur kisahnya Ia mengatakan bahwa Ia telah dijual oleh Ayahnya karena keluarga Mereka sangat miskin. Fokus utama film ini nantinya akan bertumpu pada kedatangan dua gadis belia asal Burkina Faso, Esther dan Kadi yang melarikan diri dari keluarganya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di Algeria. Disinilah perjalanan kisah-kisah memilukan dalam "The Last Shelter" yang dipenuhi rasa kebencian, ketakutan dan harapan dimulai.


Samassekou bersama editornya berhasil menghasilkan urutan cerita yang mengagumkan dan menarik untuk diikuti. Terlepas dari obrolan kecil para Migran yang ditangkap film ini, voice over yang di perdengarkan tanpa memperlihatkan objeknya berpadu padan dengan keindahan hamparan gurun kosong yang pada akhirnya menghasilkan intensitas cerita yang mencekik. Di lain sisi, film ini memiliki banyak momen yang menyayat hati, salah satu adegan pemantiknya adalah ketika Kamdem menanyakan informasi tentang keluarga Esther. Tanpa saling bertatapan Kamdem mengatakan bahwa pilihan pergi ke Algeria adalah hal yang patut diperhitungkan kembali apalagi mengingat usianya yang masih belasan, Esther bisa saja berakhir dalam lubang prostitusi di sana. Inilah yang membuat dokumenter ini sangat hebat, filmnya bergerak dengan penuh kejujuran dan kepolosan yang brutal sekaligus menyakitkan. Melihat Esther yang tetap tak mau menceritakan soal keluarganya pada pengurus House of Migrant mencerminkan betapa kritisnya masalah yang sedang ditampilkan oleh film ini.


"The Last Shelter" layaknya sebuah putaran memilukan yang tak ada hentinya, kisah mencengangkan terus berdatangan dan berpergian, dan kesedihan mengelilingi cerahnya warna dinding House of Migrant. Bahkan Kamdem yang sekarang bertugas mengelola House of Migrant dahulunya juga merupakan pengungsi yang diselamatkan oleh pendiri tempat itu. Mariko selalu menolak untuk dipulangkan ke ibukota Bamako karena ketakutan pada keluarga yang selalu memberikan suntikan injeksi padanya, serta Natacha yang sudah 5 tahun mengungsi (yang entah mengapa, Samassekou tidak menyoroti back story-nya) tetap tinggal di House of Migrant bahkan setelah Esther dan Kadi memutuskan untuk melanjutkan perjalanan Mereka. Kisah-kisah ini meninggalkan rasa frustasi dan empati yang mendalam.

Tak henti-hentinya menguras perasaan, film ini ternyata dibuat atas ketidakpastian yang Samassekou rasakan tentang pamannya yang pergi ke Jerman 32 tahun lalu dan menghilang dalam perjalanan. Suaranya hingga saat ini tidak pernah terdengar, kehadirannya tidak pernah terasa. Saya tak bisa berkata-kata lagi. Sangat menyedihkan.



Comments

Popular posts from this blog

Review The Tag-Along : Devil Fish (Hong Yi Xiao Nu Hai Wai Zhuan : Ren Mian Yu) (2018) : Legenda Ikan Iblis Di Taiwan

Review The Grudge (2020) : Kutukan Dendam Membara Yang Seharusnya Berakhir

7 Film Horror Indonesia Terburuk Tahun 2018

Review Eden Lake (2008)

Review Arwah Tumbal Nyai "Part Arwah" (2018) : Raffi Ahmad dan Rumah Produksinya, Generasi Baru KK Dheeraj