Review Morning Star (Aza Kivy) (2021) — DIFF 2021

Sutradara : Nantenaina Lova

Genre : Dokumenter

Negara : Madagaskar






















***

This film screened at Durban International Film Festival 2021

***


Saya masih ingat dulu ketika kecil selalu menonton program televisi yang mengeksplor kegiatan anak-anak pedesaan. Acaranya biasa saja, hanya mengikuti kegiatan anak-anak tersebut bermain permainan mainstream (bagi anak desa seperti Saya) layaknya bermain kelereng, pergi ke sawah menangkap belalang atau mandi di sungai. Namun ketika beruntung, Saya dapat menyaksikan kultur yang belum pernah Saya lihat sebelumnya. Apa yang menarik dari program ini adalah tentang kepolosan dan rasa bahagia yang Mereka tunjukan ketika sedang beraktivitas, ditambah unsur geografi yang memanjakan mata serasa tengah membawa Saya ke dalam sebuah liburan virtual singkat. 


Ketika pertama kali mendengar "Aza Kivy", Saya tak berharap lebih meski film asal Madagaskar ini masuk kompetisi utama Festival Film Dokumenter Amsterdam akhir tahun lalu. Membaca sinopsisnya yang terkesan anti kapitalis dan anti kolonial, Saya cukup terkejut dengan keputusan Nantenaina Lova yang lebih memilih untuk mengikuti kegiatan sehari-hari para nelayan sebagai kampanye untuk menahan kapitalisme dan kolonialisme itu sendiri. 


Dengan durasi yang terbilang sempit, memang tak akan ada banyak yang dieksplor oleh Lova. Filmnya dimulai lewat sebuah prolog yang dibawakan oleh seseorang (yang saya yakini adalah ketua suku) yang menyanyikan lagu tentang daratan suci mereka, pantai Andaboy. Terletak di sebelah barat daya Madagaskar, kebanyakan warga sekitar menggantungkan hidupnya sebagai nelayan dengan hasil penangkapan untuk dijual dan juga dikonsumsi sehari-hari. Para nelayan lokal sudah cukup terganggu oleh kapal pukat yang menangkap ikan disana untuk dikirim ke Cina, kini Mereka harus menghadapi invasi yang lebih besar ketika perusahaan pasir mineral asal Australia, Base Toliara akan membangun sebuah pelabuhan disana, dengan artian sekitar 8000 nelayan akan kehilangan rumah dan pekerjaan Mereka.



Seperti yang sudah Saya katakan dalam paragraf awal, Lova tak akan terlalu menyoroti aksi protes para nelayan disini, Ia lebih memilih untuk menunjukan sisi lain yang lebih ringan dan sederhana untuk menimbulkan kepedulian penonton mengapa pembangunan besar disana akan menimbulkan ketidakseimbangan ekonomi dan runtuhnya tradisi warga sekitar. Seperti yang dikatakan oleh pembawa plorog film bahwa ini merupakan kisah orang-orang asli yang menduduki daratan itu dan mencakup hutan serta lautnya. Simbiosis mutualisme yang berputar dalam ekosistem daratan ini mencakup para nelayan dan juga orang-orang yang membuat perahu kano dari kayu-kayu di hutan. Itu artinya bila Base Tolira memenangkan izin atas pembangunan pelabuhan, dampak yang ditimbulkan juga dapat merusak simbiosis tersebut.



Setiap adegan dan cara pembawaan Lova untuk dokumenternya ini mengingatkan Saya pada acara televisi yang tadi saya bicarakan, memori mengalir bak air sungai ketika melihat tangkapan-tangkapan gambar yang begitu polos, begitu pula dengan protagonis utamanya yang memperlihatkan rasa semangat yang tak dibuat-buat, tulus dan bermartabat di depan kamera. Sebuah cerminan memukau yang menunjukan bagaimana usaha orang Afrika dalam memperjuangkan hak atas kepemilikan Mereka melawan penjajahan ekonomi disana. "Aza Kivy" sendiri memiliki arti "Kami tidak akan menyerah".



Comments

Popular posts from this blog

Review The Tag-Along : Devil Fish (Hong Yi Xiao Nu Hai Wai Zhuan : Ren Mian Yu) (2018) : Legenda Ikan Iblis Di Taiwan

Review The Grudge (2020) : Kutukan Dendam Membara Yang Seharusnya Berakhir

7 Film Horror Indonesia Terburuk Tahun 2018

Review Eden Lake (2008)

Review Arwah Tumbal Nyai "Part Arwah" (2018) : Raffi Ahmad dan Rumah Produksinya, Generasi Baru KK Dheeraj