Review Fox in a Hole (Fuchs Im Bau) (2021) — EOS 2021

Sutradara : Arman T. Riahi

Penulis Skenario : Arman T. Riahi

Pemain : Aleksandar Petrovic, Maria Hofstätter, Luna Jordan, Sibel Kekili, Andreas Lust, Adriano Bonamore, Anica Dobra

Genre : Drama

Negara : Austria


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

***

This film screened at Europe on Screen 2021

***

 

 

 

 

 

Mereka bilang first impression itu penting. Entah ujungnya bakal tertarik atau tidak, yang penting sudah tertanam rasa suka. Sebuah adegan pembuka (opening sequence) dalam film juga berfungsi seperti itu. Entah filmnya bakal bagus atau engga, yang penting penonton sudah rela duduk manis menghabiskan waktu yang tidak sebentar untuk menatap layar. “Fox in a Hole” atau “Fuchs im Bau” adalah salah satu contoh film yang mencerminkan kiasan tersebut.

 

Hari itu adalah hari pertama Fuchs (Aleksandar Petrovic) (yang bila diartikan ke dalam Bahasa Indonesia berarti rubah) sebagai seorang pengajar di sebuah sekolah. Seiring dengan berjalannya kamera, celotehan kasar terdengar mengejek-ngejek Fuschs. “Apakah ini ruangan kantor sekolah?” Pikirku dalam hati. Remaja-remaja dari berbagai etnis multinasional Austria mengisi ruangan tersebut, terlihat ada beberapa dari benua Afrika, negara Arab, Bosnia, Albania dan orang Austria asli sendiri. Ternyata itu adalah ruang kelas belajar. Tapi, mengapa anak-anak itu seperti tidak memiliki sopan santun terhadap guru (atau lebih tepatnya asisten guru) barunya? Mungkin itu pula lah yang menjadikan Berger (Maria Hofstätter) yang kurang lebih sudah mengajar selama 25 tahun di sana memiliki tata cara mengajar non konvensional dan terbilang “nyeleneh” untuk profesi seorang guru.

 


Fuchs mendaftar menjadi guru di sana memang untuk menggantikan Berger, namun apa yang Fuchs hadapi ternyata tidak semudah yang Ia bayangkan. Sekolah tersebut ternyata merupakan bagian dari sebuah penjara yang dikhususkan bagi anak-anak remaja sebagai sarana terapi lewat kelas seni. Hari pertama Fuchs tidak berjalan cukup baik, dan apa yang akan Ia hadapi dikemudian hari juga taka da bedanya. Bermula dari serentetan hal kecil menyebalkan hingga puncaknya terjadi saat kegaduhan timbul Ketika gadis Bosnia misterius yang tidak pernah bicara, Samira (Luna Jordan) menghantam Sala (Adriano Bonamore) hingga menyebabkan Samira berakhir di ruang isolasi.

 

“Fox in a Hole” sejatinya tak memiliki sesuatu yang istimewa baik dari segi teknis ataupun cerita, but thanks to it’s 10 minutes opening sequence, Saya memutuskan untuk tetap mengikuti perjalanan Fuchs dan mencari tahu tentang Samira. Jika ada daya tarik yang menjadikan “Fox in a Hole” layak untuk ditonton selain adegan pembukanya, maka komposisi karakter pendukung yang ada dalam film ini adalah alasan lain mengapa film ini patut untuk disaksikan. Lewat perannya sebagai Berger, Maria Hofstätter memang sudah mencuri perhatian sejak awal. Karkternya yang keras, tidak berperasaan namun disatu sisi memiliki segudang ide ngeyel yang menentang peraturan penjara, adalah upaya yang Ia lakukan agar murid-murid di kelasnya setidaknya termotivasi untuk bangkit melanjutkan kehidupan (yang pada kenyataanya Mereka terlihat masa bodo dengan keadaan). One liner yang terucap pada setiap sesi mengajarnya membuat karakter yang Ia mainkan bukan hanya membuat penonton peduli atas situasi yang terjadi, namun juga menjadikan Berger sebagai jantung film ini lebih dari karakter utamanya yang kurang terekspos pada bagian backstory yang meninggalkan plothole pada penonton.

 


Selain Hofstätter, pemeran muda yang eksplosif berperan penting agar pendekatan cerita yang Arman lakukan berhasil. Samira, si gadis misteri, dengan tampilan yang cukup maskulin, memotong rambutnya seperti anak laki-laki ternyata memilki salah satu masalah yang paling serius dari anak-anak lain yang ada di sana. Samira dijebloskan ke penjara akibat memukuli Ayahnya hingga jatuh koma. Ya, meski anak-anak lain dalam obrolannya terdengar seperti “Gw masuk penjara akibat membunuh orang”, apa yang menjadikan Samira menjadi anak special dan perlu mendapatkan perhatian khusus adalah tentang kejiwaannya yang terguncang, hingga Ia sering melakukan self harm di dalam sel. Performa lain yang tak kalah mencuri perhatian berasal dari Sibel Kekili dan Anica Dobra yang memerankan pskikater dan ibu Samira.

 


Ruang kelas dan penjara tentunya menjadi titik sentral dalam film ini. Arman melakukan pengaturan klaustrofobia lewat sudut dan dinding penjara yang sempit dengan color grading yang cukup kelam untuk meningkatkan intensitas ketegangan. Sedangkan musik garapan Karwan Marouf menghiasi beberapa sesi ikonik dalam film ini. Pada akhirnya, “Fox in a Hole” tak hanya berfungsi sebagai cerminan eksplorasi mikrokosmos pemuda dalam keterpurukannya, namun juga sebagai siklus kelam antara kemurnian jiwa anak-anak dan efek kejahatan dari metode parenting yang tidak tepat. Akhir dari film ini juga mencerminkan kebebasan atas kurungan baik yang Kita inginkan sendiri ataupun tidak. Sedangkan Si Rubah pun masuk ke dalam kurungan.


Comments

Popular posts from this blog

Review The Tag-Along : Devil Fish (Hong Yi Xiao Nu Hai Wai Zhuan : Ren Mian Yu) (2018) : Legenda Ikan Iblis Di Taiwan

Review The Grudge (2020) : Kutukan Dendam Membara Yang Seharusnya Berakhir

7 Film Horror Indonesia Terburuk Tahun 2018

Review Eden Lake (2008)

Review Arwah Tumbal Nyai "Part Arwah" (2018) : Raffi Ahmad dan Rumah Produksinya, Generasi Baru KK Dheeraj