Review Dear Future Children (2021) — EOS 2021

Sutradara : Franz Böhm

Genre : Dokumenter

Negara : Jerman













 





 

***

This film screened at Europe on Screen 2021

***




Masa muda memilki peranan penting dalam kehidupan setiap orang. Masa muda adalah waktunya bersenang-senang. Masa muda adalah waktunya bercinta. Bagi Sebagian orang, masa muda adalah saat yang berat dan bagi sebagian orang lainnya masa muda adalah saat dimana perubahan dimulai. Seperti tiga orang pemudi dalam dokumenter arahan Franz Böhm berjudul “Dear Future Children” yang mendedikasikan masa mudanya berjuang bagi perubahan dunia. Singkatnya ketiga pemudi ini ingin memperbaiki situasi yang sudah kacau untuk kehidupan masa depan yang lebih baik bagi generasi selanjutnya. Dokumenter pararel ini akan mengulik tema tentang keadilan, perubahan iklim dan demokrasi yang terjadi di tiga negara dari tiga benua berbeda.



Bermula pada tahun 2019, aksi demo terjadi di ibu kota Chili ketika pemerintah menaikkan tarif kereta bawah tanah. Keputusan pemerintah tersebut memicu protes dari warga sipil, terutama para pekerja yang menanggap bahwa biaya hidup yang kian meningkat dapat mencekik masyarakat. Meningkatnya praktik korupsi, privatisasi dan kesenjangan status sosial juga memicu demonstrasi besar-besaran yang mengakibatkan kerusuhan masif di kota-kota utama Chili. Demonstrasi yang kemudian dikenal sebagai Estallido Social tersebut hingga Januari 2021 telah memakan 37 korban jiwa, 11.000 orang terluka dengan diantaranya, 400 orang mengalami kebutaan mata. “Aku tidak ingin membesarkan anakku di tempat seperti ini” Begitulah kira-kira ucapan Rayen, aktivis yang berjuang melawan ketidak adilan sosial di negaranya.

 

Akibat banjir bandang yang terjadi di desanya hingga merusak pertanian dan berujung pada ambruknya ekonomi keluarga, Hilda harus rela kehilangan kesempatannya menuntut ilmu selama beberapa bulan. Perubahan iklim yang terus terjadi mengancam setiap jiwa yang ada. Siapa pelakunya? Seorang professor di universitasnya berkata bahwa itu adalah rencana Tuhan, namun Hilda dengan semangat yang membara percaya bahwa semua kekacauan yang alam berikan adalah akibat ulah tangan manusia. Lewat visinya tersebut, Hilda memulai sebuah kampanye Fridays for Future untuk membuat perubahan yang berarti bagi manusia dan alam di Uganda.

 


Berada di garda terdepan dalam sebuah aksi protes memang bukanlah sesuatu yang mudah. Demonstran bisa saja terluka atau bahkan tertangkap dan dijebloskan ke penjara. Ketika demokrasi dianggap sesuatu yang menentang, suara harus dikencangkan. Pepper menyebut Hong Kong sebagai sebuah rumah, itulah menagapa Ia merasa menjaga negaranya adalah kewajiban yang harus dilakukan. Pepper adalah satu-satunya aktivis dalam dokumenter ini yang terbilang cukup misterius dengan menggunakan nama samaran dan masker sepanjang film, Ia tak ingin semua orang mengetahui apa yang Ia lakukan, termasuk keluarga dan teman dekatnya. Kerusuhan yang terjadi di Hong Kong tersebut bermula akibat suatu produk legislasi bernama UU Ekstradisi yang diajukan oleh Cina kepada pemerintah Hong Kong yang disatu sisi dapat mengancam masa depan seluruh generasi anak muda disana. “Aku bukan dari Cina, Aku berasal dari Hong Kong”.

 

Ketiga kisah inspiratif ini kemudian dipresentasikan dengan begitu tajam, padat dan jelas dengan durasi yang hanya memakan waktu kurang lebih satu jam setengah. Akurasi kejadian yang dibidik oleh kamera membawa Kita pada situasi yang mencengangkan dan sulit untuk dilihat. Sutradara Franz Böhm tak luput untuk menjejelkan dokumentasi korban-korban dalam aksi bentrok antar demonstran dan petugas lapang. Proses color grading dan editing dalam film ini memegang peranan penting dalam penyampaian masing-masing kisah, observasi kasar yang ditangkap tak semerta membuat dokumenter ini kehilangan cinematic experience-nya, proses editing yang terbilang tegas mampu menyampaikan makna ketiga kisah berbeda yang tak saling berkaitan secara langsung ini dengan baik dan tepat pada sasarannya. Tidak hanya menyoroti tentang upaya ketiga subjeknya dalam membuat sebuah perubahan, ”Dear Future Children” juga mengobservasi secara detail emosi dari ketiga aktivisnya. Böhm secara cerdas membiarkan subjeknya berekspresi tanpa batas dalam mengeluarkan kegelisahan, amarah, rasa takut, keputus asaan serta harapan Mereka lewat kejadian mengerikan yang ketiganya telah lewati.



Rayen dan Pepper menghadapi problematika yang sama. Ketika perjuangan Mereka dianggap sesuatu yang mentang, barikade polisi tak tanggung-tanggung menghantam ratusan orang dengan gas air mata yang menyakitkan, menembakkan peluru karet hingga menyebabkan kebutaan dan memukuli demonstran hingga jatuh tak berdaya, membuat kedua aktivis utama dalam film ini mengalami kisah traumaris yang mengerikan. Berbeda dengan keduanya, Hilda seakan membawa secercah harapan pada penonton ketika Dia diundang adalam KTT perubahan iklim di Denmark, menjadikan kisahnya sebagai sebuah sisi terang bagi kedua aktivis lainnya yang masih tergantung di tengah peperangan.

 

Lewat “Dear Future Children” Franz Böhm membuktikan bahwa Dia bisa mendireksi suatu fenomena yang sering terjadi di sekitar Kita lewat format yang tersusun rapi dengan penyampian yang menarik untuk diulik. Terpana adalah rasa yang didapat ketika melihat film ini pada menit-menit awal, sedangkan menohok adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan keseluruhan isi filmnya. Keseimbangan tiap porsi cerita dibagi dengan sangat cemerlang, filmnya begitu kuat dan sudah sepatutnya ditayangkan secara massal untuk menebar rasa semangat di kalangan kaula muda.


Comments

Popular posts from this blog

Review The Tag-Along : Devil Fish (Hong Yi Xiao Nu Hai Wai Zhuan : Ren Mian Yu) (2018) : Legenda Ikan Iblis Di Taiwan

Review The Grudge (2020) : Kutukan Dendam Membara Yang Seharusnya Berakhir

7 Film Horror Indonesia Terburuk Tahun 2018

Review Eden Lake (2008)

Review Arwah Tumbal Nyai "Part Arwah" (2018) : Raffi Ahmad dan Rumah Produksinya, Generasi Baru KK Dheeraj